Rabu, 11 Maret 2009

Seorang Lelaki Tentang Kejujuran

Seorang Lelaki Tentang Kejujuran
Penulis : Fajar Hidayat

Ia terkenang sepuluh tahun yang lalu. Pertama kalinya ia harus berjanji dengan dirinya untuk tidak pernah jujur. Betapa ia ringis mengenangnya. Tapi ia sadar harus melakukannya. Sejak itu ia tidak pernah berkata jujur kepada siapapun.

Ia masih anak-anak 7 tahun dari keluarga tidak berada. Anak-anak sebesarnya sedang sibuk mendaftar sekolah pertengahan bulan Juli, ia masih ingat betul tanggal 10. Teman-temannya pada sibuk pergi ke pasar membeli buku, baju sekolah, dan pensil. Hanya ia yang tidak peduli dengan kesibukan itu karena ia tahu tidak akan sekolah. Tetangganya, Anto bertanya, ”Kamu tidak daftar Di?” Ia menggeleng.

Tepat hari pertama sekolah, Anto terkejut melihat Budi hadir di sekolah lengkap dengan pakaian seragam.

”Kamu bohong, Di. Katanya kamu tidak sekolah.”

Itu pertama kalinya ia kenal dengan kata bohong. Ia tidak mampu menjelaskan kepada Anto kenapa ia bisa hadir di sekolah itu dan mengenakan seragam pula. Ia masih ingat, ketika itu dikatakannya kepada Anto, Mamaknya mengirimkan uang untuk biaya sekolahnya. Tapi Anto tetap mengatakan bahwa ia telah berbohong awalnya.

Di musim layangan, teman-temannya sibuk membuat layangan dari bambu dengan berbagai macam bentuk. Berbeda dengan yang lainnya, hanya ia tidak datang ke lapangan sekolah karena ia tidak suka bermain layangan. Namun, pada suatu siang, ia datang membawa layang-layang berbentuk kupu-kupu ke lapangan sekolah. Teman-temannya bilang, ”Katanya tidak mau main layangan.”

Sejak itu tidak ada orang yang percaya dengan omongannya. Di sekolah, ia lebih dikenal dengan nama Panduto. Lebih akrab dengan nama Pandu. ”Oh, Pandu,” begitu kata teman-temannya.

Bila teman-temannya bermain dadu atau gambar, Budi tidak pernah diajak. Berenang ke sungai juga tidak. Tapi Budi selalu datang sendiri.

Ia tidak pernah senang dengan panggilan Pandu yang diberikan teman-teman kepadanya. Ingin dijelaskannya kenapa ia tidak senang bermain layangan. Ia harus membantu ibunya ke sawah untuk menanam padi. Daripada teman-temannya kecewa, ia bilang saja tidak suka main layangan. Tapi, pada hari kedatangannya ke lapangan sekolah, ibunya menyuruh bahkan memaksa.

”Hari ini kamu tidak usah bantu ibu ke sawah. Main layanganlah dengan teman-temanmu,” begitu kata ibu.

”Tapi saya sudah mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak suka main layangan. Saya bantu ibu saja di sawah.”

Ibu terus memaksa dan memberikannya sedikit uang untuk membeli layangan yang dijual di kedai Pak Amin. Ia terpaksa melakukannya.

Ada yang tidak bisa diterima teman-temannya, pada hari Jumat, sebelum mengaji di surau. Mereka bersama telah sepakat untuk tidak datang mengaji. Tos-tosan tanda kesepakatan. Hari itu, mereka akan main kelereng. Dari rumah masing-masing, semuanya tetap membawa kain sarung dan AlQuran. Di suatu lapangan yang jauh dari rumah, rencananya mereka akan berkumpul. Tidak lupa, dalam kesepakatan, semuanya harus membawa kelereng yang banyak. Siapa yang kalah mesti memberikan kelerengnya kepada temannya yang menang.

Pertama yang datang ke lapangan Soni. Ia duduk di rumput sambil menunggu kedatangan temannya yang lain. Datang Anto, Pardi, Ilham, Aldo, dan Gilang. Sebelum memulai permainan, mereka bercakap-cakap tentang hukuman yang akan diterima dari guru mengaji yang terkenal dengan hukuman berdiri dengan kaki sebelah itu.

”Kalau bersama tidak terasa hukuman itu,” kata Anto membuka suara.

”Biasa saja.”

”Atau, karena kita ramai-ramai, kita dikeluarkan mengaji,” Ilham sedikit takut.

”Mana mungkin Guru Bidin akan mengeluarkan kita mengaji. Dengan apa ia akan makan? Bukankah hanya ini pekerjaannya?” Gilang mematahkan pernyataan Ilham

Lama mereka berbincang, mereka ingat seorang temannya lagi, Budi.

”Pandu kemana? Kenapa ia belum datang?”

”Tunggu saja. Barangkali sebentar lagi ia akan datang.”

Setengah jam mereka menunggu, Budi tidak juga datang.

”Dasar Pandu. Ia pasti berbohong lagi. Kita mulai saja permainan,” ajak Aldo yang dari tadi hanya diam mendengarkan teman-temannya berbicara.

Keesokan harinya, ketika istirahat siang, Budi dikerumuni teman-temannya dan dibawa ke suatu tempat yang lengang.

”Kamu berbohong lagi.”

”Maaf,” kata Budi singkat.

Ia lalu bercerita tentang ibunya. Tidak ada niat untuk melanggar kesepakatan itu. Saya pun suka bermain kelereng. Tapi entah mengapa, ketika akan pergi mengaji, saya iba melihat ibu yang baru saja pulang dari sawah. Ia berkeringat dan jelas kelelahan seharian membanting tulang di sawah. ”Kamu tidak ke surau, Nak?” kata ibu. Saya tidak akan membohongi ibu, makanya saya pergi mengaji.

Teman-temannya melongo mendengar Budi bercerita. Tapi mereka tetap tidak terima karena nanti sore mereka semua akan dihukum berdiri dengan kaki sebelah di tepi sawah dekat surau sebelum bisa mengaji lagi. Yang paling ditakutkan, andai Guru Bidin melaporkan kepada orang tua masing-masing.

***

Ia pergi dari kampungnya setamat sekolah dasar. Membantu ibunya yang sudah semakin tua. Terlebih, ia tidak ingin dipanggil Pandu. Di tempatnya yang baru, ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah lagi berbohong, dalam keadaan apapun. Ia tidak akan banyak berbicara karena semakin banyak berkata-kata semakin banyak pula omongan itu yang tidak bisa dipertangungjawabkan.

Garis nasib membawanya kepada keberuntungan. Sifatnya yang luwes dalam bergaul mengantarkan ia berkenalan dengan Kusniadi, kepala instasi di bidang pendidikan. Ia dibawanya berkeja di kantornya sebagai tenaga honorer. Kusniadi bahkan menjanjikan suatu hari nanti ia akan menjadi pegawai tetap dan di SK-kan.

Sampai pada suatu hari ia mendengar kabar dari kampung, ibunya sakit keras. Ketika itu ia baru bekerja selama dua bulan. Ia lalu minta libur dan mengatakan alasannya kepada Kusniadi. Kusniadi mengizinkannya pulang dan memberikan waktu libur selama seminggu.

Belum sampai sebulan setelah ia kembali bekerja, ibunya kembali sakit. Kali ini lebih parah dari dua bulan yang lalu. Ditemuinya Kusniadi dengan alasan yang sama. Tapi jawaban Kusniadi tidak bisa diterimanya.

”Kamu berbohong. Dua bulan lalu kamu katakan ibu kamu sakit. Sekarang sakit lagi. Saya tidak percaya.”

”Benar, Pak. Kalau Bapak tidak percaya, silahkan ikut saya ke kampung.”

”Alasan kamu saja. Kalau kamu pulang, kamu tidak akan saya perbolehkan lagi masuk kantor.”

Ia tidak mendengarkan Kusniadi. Ia pulang ke kampung melihat ibunya yang sakit, walau tidak tahu lagi harus bekerja apa sekembali dari kampung.

Ibunya harus dirawat di rumah sakit, ia terserang tumor ganas dan harus dioperasi. Tapi ia tidak cukup punya uang untuk merawat ibunya di rumah sakit, apalagi untuk biaya operasi. Askes yang diurusnya di kantor Wali Nagari tidak dapat menanggung biaya operasi. Hanya cukup penyediaan tempat saja, itu pun di kamar yang tidak layak huni. Untunglah, seorang rentenir mau meminjamkannya uang sebesar sepuluh juta dan dibayar 20% bunganya. Ia tidak peduli asalkan ibunya sembuh.

Dokter berhasil mengangkat tumor ganas yang bersarang di kepala ibunya. Alangkah senangnya Budi, tapi ia harus berpikir lagi untuk menulasi hutangnya kepada rentenir yang dijanjikannya lima tahun dengan bunga hampir sama dengan yang dipinjam.

Ia pergi ke Pekanbaru. Di sana, banyak orang kampungnya yang bekerja. Kota itu begitu terbuka bagi siapa saja yang mau berusaha. Kebanyakan orang-orang kampungnya yang merantau ke Pekanbaru menjadi kaya ketika pulang kampung waktu lebaran.

Ia diterima Soni di Pekanbaru. Soni berkerja sebagai pedagang mainan anak-anak. Memasuki pasar-pasar yang dihuni oleh orang-orang transmigrasi. Soni menggajinya cukup besar, untuk ukurannya. Lagi pula, laba yang diperoleh dari berdagang cukup besar. Di daerah transmigrasi, harga bisa dilambungkan daripada dijual di pasar Pekanbaru. Satu jenis pistol anak-anak yang dibeli dengan harga 15.000, bisa dijual di daerah transmigrasi tersebut 25.000. Mereka tidak protes karena memang tidak tahu harga dan jarang pergi ke kota. Lagi-lagi, ia bernasib mujur. Setelah uangnya banyak terkumpul, ia bisa berdagang sendiri.

Dagangannya tetap mainan anak-anak. Tapi, ia berdagang tidak seperti Soni. Soni menjual satu pistol anak-anak seharga 25.000 dengan modal 15.000, ia menjual 50.000. Entah berapa kali lipat dari modal yang ia beli. Bukan tanpa perkiraan, tapi ia percaya, ada orang-orang yang tetap akan membeli karena ia punya cara lain: berdagang dengan mulut.

”Pistol-pistolan ini saya dapatkan dari seorang anak pejabat di Pekanbaru. Tentu ibu tahu, mana ada pistol-pistolan anak orang kaya yang jelek? Ini tahan lama. Lebih penting, anak ibu punya mainan anak orang kaya.”

”Berapa harganya?”

”Lima puluh ribu saja, Bu.”

Ibu itu kaget dan sepertinya hendak beranjak dari situ.

”Tidak akan ibu temui di manapun pistol semacam ini. Lihat mereknya, Bu. Made in Amerika. Saya yakin, ini pistol dibeli di sana.”

Anaknya merengek dan menunjuk-nunjuk ke arah pistol-pistolan yang ditawarkan Budi.

Ia mampu meyakinkan ibu itu, dan ibu-ibu yang lain dengan caranya masing-masing. Berkat caranya berdagang, dalam waktu tiga tahun, ia mampu membayar hutangnya kepada rentenir di kampungnya. Bunganya, rencananya dalam tenggang waktu setahun lagi ia janjikan akan dibayar.

***

Budi mampu membayar hutangnya kepada rentenir tepat pada waktu yang ia janjikan. Ia kini telah mengirimkan uang belanja tiap bulan kepada ibunya di kampung. Membuatkan ibunya tempat tinggal yang layak dan mengembalikan sawahnya yang tergadai dulu.

”Pandu telah kaya sekarang,” kata orang-orang kampung.

”Saya yakin kerjanya menipu orang. Ia kan paling lihai dalam hal itu,” timpal warga yang sepertinya tidak senang dengan keberhasilan Budi.

Ia pulang ke kampungnya tiga hari menjelang lebaran. Warga kampungnya terkejut, Budi pulang tidak naik bus, tapi mobil sedan, untuk ukuran kampung sudah dianggap wah.

Di hari lebaran, ia menyumbang untuk pembangunan masjid sebanyak satu juta rupiah. Dari mikropon masjid diumumkan keras-keras. ”Bagi saudara-saudara yang balik dari rantau, silahkan sumbangkan jerih payah itu untuk pembangunan masjid kita yang masih terbengkalai. Bidin satu juta rupiah. Ayo, siapa lagi?”

Anto, temannya waktu SD datang ke rumahnya bersilaturrahmi. Ketika datang ke rumah Budi, ia telah lupa dengan Pandu. Yang ada di depannya sekarang adalah Budi, sahabatnya sewaktu SD dulu.

”Sudah kaya kau sekarang, Di. Apa pekerjaanmu?”

Ditatapnya sahabat lamanya itu. Dengan pasti dijawabnya,”Berbohong.”




Terima kasih atas kunjungan kalian. Semoga ini bermanfaat buat kita semua. Dan jika ada salah kat ato pengetikan mohon maaf.

Jika ada saran ato comment mohon tinggalin pesan dibawah.

4 komentar:

Jihan mengatakan...

hhmmmmmmm........ comment quw yang tadi kayae kuk belum masug ya,,,,,,,,,, yaw dah dri pada ragu2 tak ulangi lagi.....

well,,,, it's interesting story......
pada awalnya aku berfikir kita pasti bisa ambil hikmah dari cerita ini. Seoarang Pandu yang sayang pada ibunya. Berbakti pada ibunya. Hormata pada ibunya rela melakukan apa saja demi ibunya. Aku masih bisa maklum kalo Pandu waktu SD suka boong. Ya... maklumlah masih kecil. Tapi yang aku salut dia tidak berani membohongi ibunya.
Setelah aku baca hingga akhir cerita. Kuk aku jadi bingung. Bagaimana kamu bisa memix sifat bohong dengan hasil akhir yang memuaskan. Oya aku percaya dengan hukum tibal balik di dunia ini. Apabila kita berbuat baik,,,, maka dunia akan baik pada kita dan sebaliknya. Trus kuk bisa Pandu yang suka boong mendapat kebaikan dari kebohongannya itu????? Okelah.... kalo emang itu demi ibunya. Tapi dia tetap saja pembohong. Dia membohongi orang lain untuk ibunya. Bukankah itu juga sama saja dengan membohongi ibunya secara tidak langsung????? Apa lagi di akhir cerita kuk Pandu segitunya bangga ya menjadi seorang pembohong????? Bisa dijelasin alasannya?????? Maav kalo aku commennya kaya gini. Aku cuma pengen tahu bagaimana kamu memix suatu kebohongan menjadi seperti itu????? Siapa tahu bisa aku peelajari...........

Syn mengatakan...

makasih ya dah comment..mkin u masih penasaran ngapa pandu berbohong kok jd sukses???..ngapain harus minta maaf,gak p2 kok mkin to kritikan n saran yang membangun buat q..q mlah seneng u tnya gtu...maksunya gini lo jihan..
[ mkin dimata kebanyakan orang kebohongan to jelek..namun dlam cerpen ini,berbohong jd sukses...mkin klo orang membaca cerpen ni klo salah mengartikan jd salah sasaran,takutnya stelah orang yang baca cerpen ni orang menjadi pembohong kemudian sukses..harapan q sebenarnya mlah dlam cerpen ni,menyadarkan seseorang tentang kebohongn dn menyakini bahwa kejujuran harta yang paling tinggi..da potongn cerita yang menimbulkan motivasi .."ia (budi)tidak ingin dipanggil Pandu. Di tempatnya yang baru, ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah lagi berbohong, dalam keadaan apapun. Ia tidak akan banyak berbicara karena semakin banyak berkata-kata semakin banyak pula omongan itu yang tidak bisa dipertangungjawabkan" budi yang dijuluki pandu sang pembohong,..sebenrnya bertekat ubtuk tidak berbohong,..jd itulah motivasi seseorang..bisa ku gambarain,gni..orang berani berubah untuk mencari perubahan yang baru dan lebih baik..dan bisa mempertanggung jawabkan perubahan itu..contoh'nya pandu,dari kecil dia suka berbohong..namun ada dasaran punya pendirian sendiri ato percaya diri,berbohong untuk tidak mengecewakan temannya..krena dalam diri pandu dia blom bisa mempertanggung jawabkan janjinya..jadi berbohong diartikanya beralasan..mkin q gak tak kasih tulisan tentang pertanggung jawaban bila mengucap janji,.mnurut q tepati janji lebih berat di banding berbohong untuk gak ngecewain temen demi kebaekan..maksudnya,mkin u jg pernah berbohong kayak gini..hehehe..maaf ya,mksudnya gni...gambarin ja waktu qta bertamu dirumah bapak/ibu guru qta,sendirian pula..waktu yang punya rumah nawari qta makan,pa qta harus iyain tawaran itu..hehehe..klo itu orang gak punya malu>>..hehehe..mkin qta sungkan bisa qta tolak,dg bilang gini "makasih bu,tadi dah mkan dirumah"..tp sebenarnya kamu td blom pulang krumah,n blom mkan..ya bgitulah mksud q tentang kebohongn yang dilakukan pandu..kn setelah dia bertekat gak bohong lg,di jd orang yang lebih menghargai kejujuran..dia berani jujur sampek dia dikeluarin dari pekerjaanya,.stelah tu di berusaha untuk bekerja keras demi ibu yang sangat disayanginya..ya kerja kers dan jirih payahnya membuahkan hasil..dia jd orang yang sukses,krena tidak mudah menyerah...walau dipepet sma lintah darat...jdi intinya motivasi..berubah dari kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik..dan menghargai kejujuran,dan juga lebih bisa mempertanggung jawabkan janji yang pernah qta ucapin..jk qta blom bisa sepenuhnya nepatin janji..daripada ngecewain orang lain ya qta berbohong ja demi kebaekan..q gak ngajarin bohong lo..hehhe...ya to lah maksud dari cerpen di atas..smoga bisa bermanfaat..("_")

Jihan mengatakan...

Okelah thank you...... alasan yang cukup bagus..... What????? Berbohong demi kebaikan???? Dari dulu aku penasaran ama kata-kata ini. Dan akhirnya telah terjawab di acara Mario Teguh Golden Ways yang biasanya da di metro. Waktu itu kebetulan aku liat pas temanya honest pa ya aku lupa....Da satu audiece tanya "Pak Mario, bagaimana dengan kalimat lebih baik berbohong demi kebaiakan. Apakah ada sisi baik dari suatu kebohongan???" Meskipun aku tidak hadir di acara itu,,, aku berharap waktu itu. Pak Mario jawabnya bagus. Apa lagi sejak awal acara, Pak Mario ngoceh terus tentang kebaiakan2 dari kejujuran dan keburukan-keburukan dari kebohongan. Jadi penasaran jawabannya pa. Perlu kamu ketahui ternyata gag ada yang namanya berbohong demi kebaikan. Jika kita ingin dunia ini jujur dengan kita,,, maka kita harus jujur dengan dunia ini. Lakukan kebaikan dengan hal-hal yang baik. Dan itu yang akan membuat segalanya lebih baik. Gitu sih katanya.... Okelah tapi kalo itu prinsip u.... setiap orang emang boleh beropini.......Kamu pengen lebih mengangkat motivasi dalam cerita ini kan????? Napa kamu gag bikin di akhir ceritanya itu dia bener-bener berusaha lepas dari sifat bohong dia.... hhhhmmmm..... sory2 yaya aku tahu uadah ada penjelasanmu ttg itu..... maksud kuk kamu gag bikin si Budi ganti uangnya reintenir itu dengan jerih payah yang bener-bener murni kejujuran???? Tu kan lebih nunjukin kalo si Budi tu bener-bener pengen lepas dari sifat boongnya tadi???? Kan tu nak masih boongin pembeli tu buat cari duit????

Syn mengatakan...

mang ceritanya to da benang merahnya dlam kehidupan..n suatu kebiasaan gak bisa lepas tanpa kita tersadar..gtu..jd buat kebiasaan yang baik sedini mungkin biar esok kita melakukan setiap pekerjaan dengan sikap baek..tnpa kita sadari..

Posting Komentar