Minggu, 15 Maret 2009

Sebuah Mimpi Joni

Sebuah Mimpi Joni
Penulis : Fajar Hidayat

“Tidak ada orang yang bodoh di dunia ini,
yang ada hanya orang yang pintar dan belum pintar”


Ini tentang sekolah masa sekolah Joni 2 bulan yang lalu. Saat disekolah mulai jam pelajaran berlangsung dan keadaanya berbeda dari hari-hari biasanaya.


Hari itu Joni suntuk banget. Walau ia udah mutusin buat ninggalin kelas dan kumpul bareng teman-temannya yang lain, Joni masih tetap aja suntuk. Biasanya, ia suntuk kalau udah ketemu dengan pelajaran yang penuh dengan angka-angka dan rumus-rumus yang sulit dipahami. Tapi biasanya bakalan hilang kalau ia udah ninggalin kelas dan kumpul di markas (tempat berkumpulnya anak-anak yang kabur dari kelas waktu jam pelajaran) dengan yang lain. Palingan ngobrol-ngobrol sambil makan, ada juga yang main handphone, sambil dengerin music, ngegame juga sms.


Biasanya kalau udah kumpul di markas, Joni udah kembali enjoy lagi. Apalagi kadang ada yang iseng ada yang bawa game dari rumah, terus mereka semua main bareng, Yah asyik lah pokoknya. Tapi hari ini, semua itu nggak bikin suntuk Joni hilang. Ia ngerasa kayaknya hari-harinya tuh nggak bermakna banget. Tiap hari bolos, ngobrol-ngobrol, main game sama temen-temennya. Sama sekali nggak bermakna. Sempat benaknya pengen nyoba ikut belajar sama yang lain di kelas. Tapi, ia nggak yakin hal itu bisa hilangin kesuntukkannya.

Joni melihat beberapa temannya masih ada yang sibuk maen game sambil ngobrol-ngobrol ngak jelas. Kali ini game yang dibawa dari rumah ngak ngedidik banget. Sebenarnya pengen maen, tapi ia lagi suntuk banget. Rasanya maen game itu nggak banyak ngebantu. Ada juga yang nawarin ngrokok. Tapi ia menolak. Sebenarnya bukan karena nggak mau. Tapi ia bukan anak orang berada. Kalau ia jadi kecanduan, ia nggak bakal bisa beli seperti mereka. Masa mau minta terus.

Akhirnya Joni mutusin buat keluar dari markas, tentunya setelah pamit dengan yang lain.

“Mau kemana Jon?” Langkahnya pun terhenti.

“Keluar. Aku suntuk,” jawabnya pendek.

“Sudah, di sini aja!!! Udah ku bilang, kamu tuh ngerokok aja.” tawaran temenya

“Thanks sob, tapi aku lagi pengen hirup udara luar,” elaknya.

“Jangan bilang kamu mau balik ke kelas!!” tanya seorang temennya yang lagi ngrokok.

Joni tersenyum tipis.

”Kamu kayak nggak kenal aku aja. Aku pergi ya sob.” sambil berjalan keluar tempet itu.

Ia pun melangkahkan kaki keluar markas. Mereka sempat merhatinya keluar, tapi sesaat kemudian, mereka sudah kembali dengan aktifitas masing-masing.

Joni melangkahkan kaki tak tentu arah. Ia bingung mau kemana.

“Pulang? …Ngapain? .. Mau cari masalah sama Emak?” berkata dalam hatinya.

“ Terus aku musti ke mana.? Aku benar-benar sangat suntuk.!” gumamnya lagi.

Akhirnya ia memutuskan untuk terus melangkah entah ke mana. Mungkin langkahnya ini yang akan menunjukkan kemana ia harus pergi.

Setelah sekian lama melangkah, ia berhenti. Di depannya tampak pemandangan yang menurutnya amat mengherankan. Tiga orang pemuda seusianya sedang menghitung hasil penjualan. Sepertinya, mereka berjualan koran. Joni mengernyitkan dahinya, heran.


“Bukankah sudah lama ditetapkan kalau semua anak bisa sekolah tanpa dipungut biaya.?” batinnya.

“Selama ini, aku sekolah tanpa harus bayar SPP atau uang masuk dan sejenisnya. Bahkan belakangan ini anak jalanan sudah jarang terlihat karena mereka sudah bisa sekolah.” kata dalam hatinya.

“Tapi, kenapa mereka nggak sekolah?” tanya Joni dalam hati.

Entah kenapa tiba-tiba Joni menjadi tertarik dengan mereka. Dengan perlahan ia mendekat ke arah mereka. Mereka terlihat lelah. Tapi, tampak kepuasan di wajah mereka. Mungkin korannya laku terjual. Joni duduk tepat di samping mereka. Sekilas, mereka memperhatikan Joni. Tapi kemudian, kembali sibuk menghitung hasil penjualan koran mereka.

“Kamu nggak sekolah?” Tiba-tiba salah seorang dari mereka yang berpostur paling kecil bertanya pada Joni.

Joni terkejut. “Sepertinya dia tertarik denganku.” kata hati Joni.

” Memangnya kenapa?” Joni balas bertanya.

“Bukannya sekarang jam sekolah, seharusnya kamu nggak berada di sini.” kali ini yang menyahut adalah laki-laki yang satunya lagi, yang berkulit paling hitam.

“Lagi malas,” jawab Joni mulai agak suntuk dengan “wawancara” ini.

“Oh.” sahutan pendek itu terlontar dari anak yang paling kurus di antara mereka.

“Sayang banget ya Bud.?” Si hitam itu kembali bersuara, kali ini tidak ditujukan pada Joni, tetapi kepada Si kurus.

Si kurus hanya mengangguk.

“Sayang kenapa?” tanya Joni penasaran.

Joni yang mendengarnya tiba-tiba tertarik untuk berkata.” Kalian nggak sekolah sih, makanya nggak tahu, betapa suntukknya berada di kelas, dikelilingi semua temanmu yang seolah penuh semangat ketika rumus-rumus itu memutari otaknya dan berusaha masuk ke dalamnya. Sementara kepalamu sudah hampir mengeluarkan seluruh isinya karena sudah penuh dengan rumus.”

Mereka nampak terkejut dengan perkataan Joni.

”Nanti kamu marah,” ucap Si kecil.

“Mungkin nggak,’” jawab Joni pendek.

Mereka terdiam sejenak.

”Kami bertiga pengen sekolah. Tapi nggak bisa,” ucap Si hitam.

Joni mengernyitkan dahinya lagi.

”Kenapa nggak bisa, sekarang kan sekolah udah gratis.” Joni berkata pada mereka.

“Emangnya kamu mau dengar cerita kita?” tanya Si hitam.

Joni mengangguk.

*****

Ternyata mereka bertiga nggak sekolah karena nilai mereka tidak mencukupi. Si kecil, memang anak orang tak punya. Dulunya waktu SMP terlalu sibuk bantu bapaknya, ditambah dia sendiri kurang serius belajar, makanya nilai ujiannya jeblok abis. Untungnya dia masih bisa lulus.

Si hitam anak orang nggak punya juga. Bedanya, dia tuh punya otak pas-pasan banget. Udah dijelasin sekian kali, dia masih tetap nggak ngerti, Dia sih pengennya privat sama gurunya biar bisa ngerti. Tapi bapaknya nggak punya uang buat bayar les. Ditambah lagi teman-temannya pada sibuk belajar sendiri karena takut nggak lulus. Jadinya, dia cuma ngandalin otak pas-pasannya itu. Akhirnya dia lulus dengan nilai paling tinggi dari bawah. Sedangkan Si kurus, udah belajar, les ini itu, tapi tetap aja nilainya jeblok. Menurutnya, dia nggak pernah konsen kalau les dan belajar. Makanya nilainya ancur kayak yang lain.

Mereka bertiga nggak diterima di sekolah negeri karena nilai mereka yang jeblok itu. Mungkin mereka bisa diterima kalau di sekolah swasta atau dengan membayar lebih atau istilahnya ‘uang pelicin’. Tapi mereka punya uang dari mana? Makanya akhirnya mereka mutusin buat jualan koran. Daripada diam di rumah menyesali nasib mereka.

Hal itu kemudian menjadi pelajaran buat mereka dan juga buat Joni yang memahami cerita mereka. Jika saja ada kesempatan, mereka ingin sekali memperbaiki diri, mencoba untuk serius belajar, sehingga mereka tidak akan mengalami lagi apa yang telah mereka alami sekarang ini.

“Mungkin dengan jual koran, kita bisa bayar uang untuk masuk sekolah swasta,” celetuk Si hitam.

Keinginan besar mereka untuk sekolah membuat Joni tersentak. Dengan begitu mudahnya, ia bisa masuk ke salah satu sekolah favorit karena dulu ia masih serius belajar. Dan sekarang, ia malah menyia-nyiakan kesempayanya dengan membolos seperti ini hanya dengan alasan karena otaknya tuh udah jenuh. Terlalu penuh dengan rumus-rumus. Sementara masih ada orang yang ingin sekolah, tapi nggak bisa sekolah.

Apa yang bisa Joni lakukan sekarang. Ia hanya seorang Joni, pelajar yang sama sekali nggak ada gunanya, selalu membolos. Ia bisa berbuat apa untuk mereka, sedangkan untuk memikirkan dirinya sendiri aja ia nggak pernah. Ia nggak pernah mikir, mau jadi apa ia ini, kok malah nggak peduliin pendidikannya kayak gini.

Tiba-tiba terbersit dalam hatinya, suatu saat nanti ia akan mengubah pendidikan ini jadi lebih baek.

“Kenapa mereka nggak diberi kesempatan untuk sekolah. Hanya gara-gara nilai mereka jelek? Padahal, sekolah kan bertugas membuat siswa yang awalnya mendapat nilai jelek menjadi lebih pintar dan dapat mengubah nilai jeleknya itu. Tapi faktanya, sekolah hanya bisa mengajar anak yang pada dasarnya sudah pintar, menjadi tambah pintar. Lalu yang belum pintar tidak diizinkan sekolah, sehingga akhirnya mereka tidak akan pernah menjadi pintar.” gumam Joni.

Sebenarnya setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi pintar. Karena pada dasarnya manusia itu sama-sama memiliki akal yang mampu membuatnya menjadi lebih dari yang lain, serta memiliki otak yang mampu menyimpan hal-hal baru yang mereka temui, hingga seluruh dunia dan segala isinya akan ada di kepala mereka. Mungkin Joni harus membantu mereka mewujudkan itu. Meskipun ia tidak bisa membantu mereka untuk bisa bersekolah, tapi ia rasa, masih ada yang bisa ia lakukan saat ini.

Joni mengeluarkan beberapa buah buku dari tasnya.

“Kalian bisa baca ini setelah berjualan,” ucap Joni sambil memberikan buku –buku pelajarannya pada mereka.

“Besok aku akan datang lagi. Nanti akan kuajarkan apa yang kudapatkan di kelas pada kalian. Gratis,” lanjutnya lagi.

Mereka tersenyum padanya, pancaran mata mereka terlihat berbinar-binar.

“Makasih ya,” ucap mereka.

Sungguh, Joni merasa terharu sekali dengan ucapan itu. Baru kali ini ia merasa bahwa keberadaannya berguna. Walau hanya sekedar meminjamkan buku yang ia punya, dan memberikan sedikit dari apa yang ia dapat di sekolah, ia merasa menjadi seseorang yang lebih berarti dari sebelumnya.

“Mungkin ini tak ada apa-apanya, Teman. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk mereka. Karena mereka, aku tak tertarik untuk bolos lagi. Karena aku sudah berjanji akan mengubah pendidikan ini. Pendidikan ini nggak akan biasa kuubah kalau aku sendiri tak berpendidikan.” Perntataan Joni dengn semngat.

Joni berjanji, suatu saat nanti nggak akan ada lagi anak-anak sekolah yang akan mengalami nasib yang sama dengan mereka (penjual korang yang ngak sekolah).

Setelah ini Joni berharap, masih ada lagi yang bisa ia lakukan. Joni sangat berharap semua teman-temannya di markas akan mengalami hal yang sama dengan yang ia alami. Joni akan menceritakan pengalamannya bertemu teman-teman baru itu kepada mereka. Semoga saja mereka mau mendengar pengalaman Joni. Dan mereka mau berubah. Sehingga akan semakin banyak generasi-generasi muda berprestasi yang akan mampu mengubah dunia ini.

Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda.
Ada yang pintar dan ada yang belum pintar.
Dan pendidikan bertugas mengubah yang pintar menjadi lebih pintar
Serta yang belum pintar menjadi pintar.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Quw tambahin ya...... emg bener pada dasarnya semua orang tu pinter tinggal bagaimana kita mengasah otak kita untuk menjadi lebih pintar,,,,,, oya da juga org yg bilang gag da orang yang pinter adanya orang yang rajin..... semakin seseorang itu rajin maka semakin besar pula kemungkinan dia untuk mendapatkan nilai-nilai yang bagus shg orang lain pun beranggapan bahwa inilah org yg pintar......


Penjual korannya juga ngingetin aku. Aku jadi inget dulu waktu masih SMP. Pa lgi waktu kls 9. Udah sjk kls 8 quw mang pengen bgt nglanjutin SMA di smaga. Aku udh mulai tny2 kk klas quw yg skul di sana. Tnya2 tes masuk dsna kya gmana. Pe bela-belain aku ikutan les toefl kilat biar bsa ngerjain tesnya. Quw optimis. Quw pasti bisa nylesein SMP tepat waktu. And quw juga optimis bisa skulah di Smaga. Quw belajar giat bgt waktu itu. Udah srius bgt pokoknya. Gag mikirin yang lain kcuali quw harus lulus nd masuk Smaga. Akhirnya skr udah terjawab. Usahaquw gag sia-sia. Do'akuw terkabul. Masalahnya hampir sama kya Joni sih sebenernya... Hanya saj quw gag separah dia. Quw masih mau ngikutin pelajaran dengan baik. Tapi skarang aku gag kya dulu blajarnya. Lebih baik dulu. Nilaiku di SMA jg jeblok. Quw sekarang jadi bosen blajar krena tiap hari dkasih tugas yg bny bgt. Aku ngrasain capa yang berlebihan. Aaaaggggghhhhh....... gag tw deh...... stelah baca critamu lw dipikir2 emg bener....... sharusnya quw bisa blajar lbih giat lagi karena keinginanku bt masuk Smaga udah tercapai. Quw shrusnya bersyukur dgn blajar lbih giat lagi. Hhhhhhmmmmm........ demi masa depan dan demi mimpi2 ku berikutnya.......kayanya tu ja deh karena besuk quw ulangan kimia quw sekarang mw blajar dulu ya.......

good luck

and

makasih.......................

Posting Komentar