Selasa, 09 Juni 2009

Aku Bukan Pilihan Hatimu

Aku Bukan Pilihan Hatimu
Penulis : Fajar Hidayat

Sebuah kisah cinta pertama seorang remaja yang baru menginjak umur 17 tahun. Ialah Zulham, ia hanyalah seorang anak penjual buah di pasar, jika dilihat status sosialnya Zulham tidak mungkin bisa bersekolah di SMA nya sekarang, namun ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah sehingga Zulham dapat bersekolah di SMA favorit dan terbaik di kotanya. Pertememuanya dengan Doni,seorang anak pengusaha. Yang tak memandang status social berteman dengan siapa saja. Sehingga Zulham dan Doni menjalin persahabatan. Nabila seorang anak pengusaha, dan satu-satunya orang  penyumbang terbesar dimana ia bersekolah. Ia adalah gadis yang pertama membuka lembaran cinta Zulham.
***
Bel tanda istirahat baru saja berbunyi, aku masih duduk di bangku ini.

"Ham, kamu gak keluar ?" Doni, temanku menyapaku.

Aku menggeleng pelan.

"Kamu kenapa ?" tanya Doni.

"Enggak, gak kenapa – napa." ucapku pelan.

"Tapi kamu lapar kan ?"

Aku menarik nafas panjang, lapar, memang aku lapar saat ini, tapi bagaimana lagi, aku tak mempunyai uang untuk membeli apapun.

"Kali ini aku bayarin deh, yuk." Doni masih saja berdiri di sampingku.

"Makasih Don, aku di sini saja."

"Bener ? Ya udah, aku keluar dulu yah, maaf aku gak bisa nemenin kamu."

Aku menganguk.

Kini Doni telah lenyap dari pandanganku. Ia merupakan teman dekatku, ia selalu berbagi cerita denganku, aku senang padanya karena ia tak pernah memilih dengan siapa ia bergaul, walaupun ia orang berada, sedangkan aku, aku hanyalah seorang anak penjual buah di pasar, aku dapat sekolah di sini saja sudah merupakan suatu anugrah.

Aku mengambil Buku catatanku, aku mulai membacanya, mencoba mengisi jam istirahat ini dengan sesuatu yang berguna. Ini memang yang selalu aku lakukan jika jam istirahat tiba, dimana orang lain di sibukkan dengan makanan atau rumpiannya, tapi aku tak senang akan kegiatan itu. Aku lebih senang begini.

Waktu telah berjalan, istirahat akan segera berakhir. Kulihat para siswa masuk satu persatu ke dalam kelas.

"Yah... nih anak masih juga disini, kenapa sih kamu betah bener di bangku ini." Doni dengan senyum cerianya duduk di sampingku.

Aku menanggapinya dengan tersenyum kecil.

"Oh iya Ham, kamu dapat salam tuh." Ucap Doni.

"Salam, dari siapa ?" tanyaku.

"Nabila !"

"Nabila, Mana ?"

"Ya ampun, masa kamu gak tahu sih, dia kan gadis paling cantik di SMA ini."

"Udah ah aku gak mau becanda." Ucapku menanggapi ungkapan Doni.

"Eh aku gak becanda lagi. Nabila tuh langsung bilang ke aku, untuk nyalamin ke kamu."

"Please, jangan bicara itu ya."

"Loh kamu tuh gimana sih, jadi gimana nih, salamnya kamu terima gak."

Aku terdiam.

"Loh malah diem, diterima gak ?" Tanya Doni.

"Terserah kamu lah." Dengan perasaanku cuek.

"Kok gitu sih, eh tahu gak cowok - cowok tuh ngedambain banget tuk deket dengan Nabila, eh ini Nabila dah di depan mata, kamu malah cuek."

"Ya udah, aku terima deh."

"Nah gitu donk, Nabila pasti senang klo ngedengernya."

Aku kembali terdiam.
Nabila, kenapa dia selalu saja menitipkan salam kepada teman - temanku, aku gak habis pikir, kenapa mesti aku, padahal ia itu seorang yang cukup kaya, ke sekolah saja ia membawa mobil pribadi, sedangkan aku, jangankan mobil pribadi, untuk ongkos Bis kota saja kadang - kadang aku gak punya.
Malah aku sering berfikir, apakah Nabila berbuat seperti ini hanya untuk mempermainkanku ? atau mau menjadikan aku sabagai alat untuk menjauhkannya dari cowok - cowok playboy yang selalu mengejarnya itu.

* * *


Hari ini, seperti hari - hari biasanya, aku melangkah di halaman SMA ini diantara kabut yang menyelimuti pagi ini.

Aku memang sudah terbiasa untuk datang pagi sekali sebelum para siswa yang lain datang.

Kulihat pintu kelasku masih tertutup, aku meraih gagangnya dan membukanya. Kudapati suasana kelas yang hening. Suara sepatuku bergema di ruangan itu, aku langkahkan kakiku menuju mejaku, dan meletakan tas yang telah aku pakai sejak SMP itu di atas meja, segera ku duduk di bangkuku.

Kupandangi sekeliling, benar - benar sunyi, mataku kini tertuju ke arah Whiteboard. Di sana tertulis serangkaian kata "Zulham aku cinta kamu, Nabila." Setiap pagi selalu aku menemukan tulisan seperti ini.
Ku ambil langkah menuju ke Whiteboard dan segera menghapus tulisan itu.

Kenapa Nabila seakan selalu mengejar aku ? kini rasa bimbang menyelubungiku, apa yang harus aku perbuat, jujur saja Nabila memang gadis yang sempurna, atau setidaknya mendekati sempurna.  Apa yang didambakan oleh gadis remaja ada pada dirinya, Cantik, Kaya, Pintar, Orangtua yang sangat menyayanginya, apa lagi.? Sedangkan aku. Hanya lelaki biasa, tidak tampan, kondisi keluarga yang pas - pasan, aku hanya memiliki nilai lebih yaitu selalu menjadi juara kelas, itu saja.

Ini memang berawal ketika aku menjadi petugas kesehatan pada saat upacara bendera beberapa bulan yang lalu, saat itu Nabila memang terlihat kurang fit, tentu saja ketika upacara berlangsung Nabila pingsan, aku sebagai petugas jaga tentu saja sigap membantunya dan membawanya ke UKS.

Di sana aku bantu dia menyadarkan dari pingsannya, karena saat itu yang menjadi  'pasien' cuma Nabila, maka kita hanya berdua dalam ruangan itu. Dari situ terbentuk obrolan - obrolan kecil dan mulai memperkenalkan diri masing - masing.

Sejak saat itu Nabila mulai memperlihatkan tingkah lain, ia mulai sering menitipkan salam kepada teman - temanku, dia selalu mencari info segala sesuatu tentang diriku dari mereka, dan sudah seminggu ini aku selalu menemukan pesan untukku yang ia tulis di Whiteboard kelas.

Sebenarnya banyak yang iri aku mendapatkan perlakuan seperti ini dari Nabila, bagaimana tidak iri, Nabila itu selalu menjadi sasaran cowok - cowok terganteng yang ada di sekolah ini, mereka selalu memperebutkan hati Nabila, namun sayang hingga saat ini hatinya tak pernah dapat mereka taklukkan, Nabila hanya memperlakukannya dengan dingin.

"Pagi - pagi sudah ngelamun." Suara Doni mengusik lamunanku.

"Ah enggak." Aku mencoba mengelak.

"Enggak gimana ? aku tahu kok dari tadi tuh pandangan mata kamu kosong, eh lagi ngelamunin sapa sih, Nabila ya ?" sindir Doni.

"Ah gak, siapa lagi yang ngelamunin Nabila."

"Ehm jangan 'muna' kamu."

"Bener kok enggak." Aku masih saja enggan memberitahu yang sebenarnya kepada Doni.

"Ya udah, eh iya, di depan ada yang mau nemuin kamu tuh."

"Ketemu aku ? Siapa ?"

"Ada deh ?"

"Siapa ? emh... Nabila ya ?" Tanyaku pelan.

Doni mengangguk.

"Bilang aku lagi gak mau diganggu."

"Loh, kok kamu sadis gitu sih, gak boleh gitu ah sama cewek, cepet gih kamu temuin dia."

"Enggak ah."

"Ya kamu, eh kalo kamu di gituin ma cewek, gimana perasaanmu ? gak enak kan, nah cewek juga sama kayak gitu !"

Dengan malas aku berdiri dan mulai melangkah.

"Semoga berhasil ya." Support Doni.

"Kamu tuh ngomong apaan sih." Elakku.

Doni hanya tersenyum menanggapi ucapanku itu.

Aku berjalan keluar kelas.

Kutemukan sosok Nabila, duduk di bangku di depan kelasku.

"Hai." aku menyapanya.

Ia melempar senyum kepadaku.

Aku duduk di sampingnya.

"Kenapa akhir - akhir ini kamu seolah menghindar dariku ?" tanya Nabila.

Aku diam.

"Kamu marah ?" Tanya Nabila pelan.

Aku menggeleng.

"Lantas kenapa ?"

"Aku... aku sibuk." Aku menjawab asal.

Kami terdiam, seolah tak ada kata yang dapat kami rangkai pagi itu.

"Zulham, aku... "

Hatiku mulai berdebar, aku sudah bisa membaca apa yang akan diucapkan Nabila saat itu.

"Zulham aku mencintai kamu." Kata yang keluar dari ucapan Nabila.

Aku masih diam.

"Zulham...!" panggil Nabila.

"Ini yang aku takutkan.  Akhirnya aku mendengar kata-kata ini.” Suaraku pelan.

"Maksudmu ?" Tanya Nabila, penasaran.

"Selama ini aku takut kamu mengucap kata itu padaku." Pandanganku menatap Nabila.

"Memangnya kenapa ?" penasaran.

"Nabila, apa yang akan kamu dapatkan dariku, aku hanya anak seorang penjual buah, gak ada yang bisa kamu banggakan dariku."

"Aku tak peduli kondisi kamu bagaimana, tapi aku sungguh menyayangi kamu Zulham." Yakinnya.

"Aku takut." Ucapku.

"Takut kenapa, Ham ?" Tanya Nabila.

"Bagaimana pandangan orang jika aku menjadi pacar kamu." Ucapku datar.

"Ah peduli amat dengan mereka, yang menjalani kan kita."

Aku diam.

"Jadi...? " Tanya Nabila.

"Jadi apa ?" sahutku.

Nabila menarik nafas panjang. "Zulham, pernahkah kau mendapatkan cinta sebelumnya ?"

Aku menggeleng.

"Jadi selama ini kamu belum pernah pacaran ?" tanyanya halus.

Aku mengangguk.

"Memangnya kenapa ?" dengan halus.

"Aku takut." Ucapku datar.

"Takut ?" tanyanya.

"Aku selalu takut untuk menjalin cinta dengan orang." Suaraku datar.

"Kamu takut kecewa ?" tanyanya.

"Bukan, aku malah takut cewek itu yang kecewa terhadapku." Ungkapku.

"Kamu jangan kecil hati kayak gitu donk. Jadi bagaimana ?" desak Nabila.

"Bagaimana, apanya ?" sahutku.

"Aku menunggu jawaban darimu." Ucapnya.

Aku kembali terdiam.

"Kamu kenapa ?" Nabila kembali bertanya.

"Aku gak bisa jawab sekarang ya." Suaraku datar.

"Memangnya kenapa ?" penasaran.

"Aku masih perlu memikirkan ini." Dengan menatap Nabila.

"Ya udah, aku tetap tunggu jawaban darimu. Aku ke kelas dulu yah." Sambil berdiri melirik kepadaku.

Aku mengangguk. Sosoknya kian menjauh dariku dan menghilang. Aku mulai termenung, kini kebimbangan lainnya mulai muncul, aku gak tau bagaimana baiknya aku mengambil keputusan ini.

"Wah Ham, gimana nih, berhasil gak ?" Doni kini telah duduk di tempat Nabila tadi duduk.

"Don, aku bingung nih." Suaraku datar.

"Emangnya kenapa ?" Tanya Doni.

"Nabila... "

"Kenapa dengan Nabila, dia nembak kamu ya ?" sambil tersenyum.

Aku mengangguk.

"Wah bagus itu." Suportnya.

"Tapi aku bingung nih."

"Bingung kenapa lagi, Nabila tuh Cantik, Pintar, Kaya, kamu mikir apa lagi sih." Dengan halus menjelaskan.

Aku kembali terdiam.

"Udah deh kamu terima aja, cowok lain tuh susahnya minta ampun tuk jadian ma Nabila. Ini, dia udah nembak duluan kamu malah bingung."

"Bagaimana kata orang." Ucapku.

"Ya cuek aja lagi." Dengan suara santai.

"Tapi aku gak bisa kayak gitu." Suaraku datar.

"Alah maju aja lah, kalo ada apa - apa aku bisa bantuin kamu, tenang aja." Yakinya.

Bel tanda masuk berbunyi.

"Masuk yuk ?" ajaknya.

Aku mengangguk dan mengikuti Doni masuk ke dalam kelas.

* * *


Aku duduk di restoran ini, tepat di hadapanku Nabila tetap saja menatapku, aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini, aku tidak terbiasa. Restoran ini terlampau mewah bagiku, orang seperti diriku seharusnya tidak pantas berada di tempat ini, ini khusus bagi orang - orang mewah seperti Nabila, hanya saja aku tak bisa menolak ajakan Nabila untuk makan malam di tempat ini.
Ini merupakan kencan pertamaku dengan Nabila, ketika aku menyanggupi permintaannya untuk menjadi kekasihnya, beberapa pekan yang lalu. Nabila terlihat sangat senang mendengar jawabanku, ketika aku mengatakan kata 'iya' kepadanya.

Suasana restoran ini cukup hening, terdengar lantunan lagu lembut, menambah keromantisan suasana restoran ini. Nabila terlihat sangat cantik malam ini, dengan menggunakan gaun malam hitam dengan rambutnya yang lurus ia biarkan tergerai. Semua ini membuat aku tak tahu apa yang harus diperbuat.

"Ham, makasih ya." Ungkap Nabila lembut.

"Makasih apa ?" tanyaku.

"Kamu mau menerimaku." Suara nabila datar.

"Nabila, apakah kau kecewa terhadapku ?" tanyaku.

"Kenapa kau tanyakan itu ?"

"Aku merasa... aku tak pantas berada di sampingmu."

"Tak pantas karena apa ?"

"Aku bukan seorang pria mewah seperti dirimu, aku hanya..."

"Jadi karena itu kamu merasa malu berada di sampingku ?"

"Bukan malu! Tapi aku tak mempunyai apapun yang dapat kamu bangakan dari diriku."

Nabila tersenyum manis, "Ham, aku tak akan menuntut apapun kepadamu, kecuali satu permintaan, yaitu cintamu."

Aku kembali terdiam, entahlah, seolah semua kata ini hilang begitu saja ketika aku harus berhadapan dengan Nabila. Malam berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya, obrolan - obrolan ringan terjadi seiring bertambahnya waktu.


* * *


Enam bulan sudah hubunganku dengan Nabila berjalan, Nabila memang benar, dia dapat membuktikan apa yang ia ucap di awal hubungan kami. Rasa sayangku padanya telah tumbuh kini, dan kini aku tak sekaku dahulu mengadapi Nabila, setidaknya kini aku harus menghilangkan perbedaan yang tajam antara aku dengan dia.

Tatapan sinis dari para lelaki yang dahulu mengejar Nabila masih sering aku dapatkan, hanya aku tak mau mengambil pusing dengan semua itu. Toh ini semua kan atas permintaan Nabila.

Hari ini aku diajak Doni untuk mengantarnya ke mall, ia ingin membeli perlengkapan pesta ulang tahun yang akan diadakan lusa depan.
Dengan membawa kantong besar di tangan masing - masing, aku dan Doni menyempatkan untuk melepas lelah di sebuah mini cafe yang berada di dalam mall ini.

"Lusa kamu datang kan ?" Doni berkata sembari menuangkan creamer ke dalam coffee-nya.

"Ya pasti lah, masa enggak sih !"

"Nabila udah aku kasih tau, jadi kalian wajib datang berdua."

Aku tersenyum. Ku ambil cangkir berisi coklat panas yang berada di hadapanku dan ku teguk isinya. Kalau aku tak mempunyai sahabat seperti Doni, tak mungkin aku dapat berada di tempat ini, dia memang terlampau baik untukku, maka akupun tak akan segan membantu dalam setiap kesulitannya.

Kupandang wajah Doni, aku membaca raut wajahnya seolah melihat sesuatu yang tak dapat ia percayai.

“Don, kamu kenapa ?" dengan memandang kearah Doni.

Doni masih terpaku pada pandangannya. "Aku gak tahu apakah pantas aku katakana pada kamu."

"Kamu ngomong apa sih, Don."

"Kamu dan Nabila masih baik - baik aja kan ?" Tanya Doni, penasaran.

"Kamu aneh bener deh, kenapa emang kamu tanyakan itu, aku dengan Nabila gak kenapa - napa kok." Jawabku dengan senyum.

"Itu Nabila kan ?" Telunjuk Doni menunjuk ke sebuah arah.

Mataku segera mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Doni.

Di sana terdapat seorang wanita dan pria yang sedang asik bercanda mesra berdua di sebuah meja yang letaknya di sudut dari cafe ini. Yang membuat mataku terpaku adalah sang wanita, dia adalah Nabila, Nabila kekasihku.

"Don, kita pulang sekarang." Suaraku datar.

Doni tak berbicara.

"Don, jika kamu masih ingin di sini, aku pulang duluan." Aku mulai berdiri dan melangkah, tapi aku kembali mengalihkan pandangan ke sudut itu, memastikan apakah itu benar Nabila.

Ternyata benar, dia Nabila. Ku tatap wajah itu, tanpa sadar ia menatap kepadaku, pandangan kami bertemu. Ku pertajam tatapanku, dan segera membalikkan tubuh dan mulai melangkah keluar cafe.

"Ham, Zulham tunggu aku." Kudengar Doni mengejarku.

Baru kali ini aku benar - benar di sakiti oleh yang namanya wanita, kenapa ia menawarkan cintanya kepadaku jika ia tak benar - benar mampu untuk mencintaiku.


* * *


Malam itu pesta berlangsung cukup meriah, banyak tamu undangan yang datang dengan berbagai penampilan, seakan mereka berlomba memamerkan apa yang ia miliki.
Aku termenung duduk di sebuah sudut, sebenarnya aku malas datang ke pesta ini, tapi aku tak cukup tega untuk tidak menghadiri pesta ulang tahun sahabat dekatku ini.
Aku masih teringat kejadian kemarin lusa, sejak saat itu aku tak ingin lagi bertemu dengan orang yang bernama Nabila itu. Entahlah, apakah tindakanku tepat atau salah aku tak mau peduli, yang pasti sosoknya telah aku hilangkan di hati ini.

Aku memang sadar, aku ini terlalu cepat memvonis salah kepada orang, bisa saja kan lelaki itu bukan siapa - siapa Nabila, mungkin sepupunya atau siapa lah! tapi aku tak yakin ia itu sepupu atau temannya, aku melihat dengan mataku sendiri kalau tingkah Nabila saat itu sangat mesra kepada lelaki itu.
Tamu yang berdatangan semakin banyak, dan sosok Nabila belum juga aku dapati, "Syukurlah kalau Nabila tidak hadir !" ucapku dalam hati, memang itu yang aku inginkan.

"Ham, kamu jangan ngelamun aja donk, ngobrol kedepan dengan yang laen." Doni mengentuh bahuku.

"Biar aku di sini aja." Aku menjawab sembari tersenyum.

"Eh, kamu udah makan belum?" Tanya Doni.

Aku menggeleng pelan.

"Udah gih makan duluan !"

"Enggak ah, nanti aja." Elakku dengan senyum.

"Bener ?"

"Bener, gak enak ke yang laen." Dengan senyum.

"Ok deh kalo gitu, oh iya tadi Nabila nelpon, nanyain kamu."

"Trus, kamu bilang aku ada di sini ?" tanyaku pelan.

"Iya."

"Dia mau kesini ?" tanyaku.

"kayaknya!" jawab Doni.

"Don, aku pulang duluan ya ?" Aku mulai berdiri.

"Loh kok gitu, nanti dulu dong, pestanya aja belum berlangsung, kamu gak mau ketemu Nabila ya?" Doni memaksaku untuk kembali duduk.
 "Kamu jangan begitu donk, Ham. Saran ku, sebaiknya kamu ngomong baik - baik ma Nabila, bisa aja kan kamu salah sangka." Memegang bahuku.

"Don, aku telah merasa dikhianati oleh Nabila, aku telah terlampau sakit." Ungkap ku datar.

"Ham, Ham, baru aja begitu kamu telah memvonis yang macem - macem sama Nabila."

"Tapi, Don... " melirik Doni.

"Udah, pokoknya aku bakal marah besar kalo kamu pulang duluan." Potong Doni. 

"Kayak bukan laki - laki aja, hadapi aja dia, apa susahnya sih." Doni kembali memotong. "Aku ke sana dulu ya !"

Aku tak mampu lagi berbicara, Doni telah meninggalkanku sendiri di sudut ini.

Bangku - bangku yang tadi kosong kini terisi, aku tetap pada aktivitasku, yaitu Diam.
Aku memang sedang tidak mood untuk mengobrol, walaupun banyak yang menyapaku, tapi aku hanya menjawabnya dengan seperlunya.

Walaupun tubuhku ada di pesta ini, tapi pikiranku tidak. Ku biarkan dia melayang entah kemana. Aku tak dapat mengendalikannya.

"Zulham." Samar ku dengar suara Nabila.

Aku kembalikan pikiranku ke alam nyata, ku lihat Nabila telah berdiri di sampingku, dengan memamerkan senyum indahnya.

Aku berdiri dan mulai melangkah menjauh darinya.

"Zulham, kamu mau kemana?" tanyanya penasaran.

Aku tak menjawab, dan aku tetap pada langkahku. Aku tahu di belakang Nabila dengan susah payah mengejarku.

"Zulham, aku tahu kamu marah ke aku." Desaknya.

"Kalau memang iya, kamu mau apa ?" Akhirnya ku hentikan langkahku itu tepat di teras depan rumah Doni.

"Aku minta maaf." Suarnya datar.

"Hanya itu ?"sahutku.

"Jadi aku harus bagaimana ?" Ia mengambil tanganku. "Dia itu hanya teman Ham, enggak lebih."

Aku melepas genggaman tangannya dari tanganku. "Hanya teman ? Memangnya aku bisa percaya begitu saja terhadap ucapanmu itu ?"

"Jadi apa yang harus aku perbuat untuk meyakinkan kepadamu."sahut pasrah Nabila.

Aku terjebak oleh kata - katanya, walaupun aku tak begitu percaya akan ucapannya itu.

"Zulham, kamu percaya kan kepadaku?" tanyanya penuh harap.

Aku tak tahu harus menjawab apa, kupandangi wajah Nabila, wajah yang seolah tanpa dosa itu menatapku dengan penuh harap, hati ini memang selalu luluh pada tatapannya itu.
Kami saling membisu, suasana di teras depan ini cukup hening, hanya kami berdua yang berada di tempat ini.

"Nabila." Keheningan yang terjadi dipecahkan oleh suara seorang lelaki.

Aku membalikkan badan menuju ke arah datangnya suara.

Kini di hadapanku terlihat seorang lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya, hanya wajah itu sepertinya pernah aku lihat sebelumnya.

"Dika, kenapa kamu kesini?" Nabila sedikit membentak lelaki itu.

"Loh apakah salah jika aku ingin menjemput cewekku." Jawab lelaki itu tenang.

“ 'Cewek', apaan ini ?” Aku mengalihkan pandanganku ke Nabila, mukanya kini terlihat tegang.

"Kamu temannya Nabila ya ? Perkenalkan saya Dika." Lelaki itu mengajakku berjabat tangan.

"Kamu... siapanya Nabila." Ucapku sambil menanggapi uluran tangannya.

"Oh, saya cowoknya Nabila." Jawab lelaki itu dengan santai.

Kembali ku tatap Nabila, kini wajahnya ia tundukkan.

"Aku pulang." Aku berkata dengan nada datar.

"Ham, tunggu, aku bisa jelaskan ini... " Nabila mencoba menghentikan langkah yang baru saja aku lakukan.

"Tak ada yang harus kamu jelaskan lagi Nabila, semuanya sudah jelas, aku dan kamu memang berbeda, dan harus kamu ketahui, aku bukanlah sebuah pilihan untukmu. Jadi mulai dari sekarang mohon tingalkan aku." Ucapku datar.

Kulepaskan genggaman tangannya, aku mulai berjalan menembus kegelapan dinginya malam yang mendung.
Hujan pun mulai membasiahi bahuku. Terlihat Nabila memanggil-manggil aku, dengan tetesan air mata yang mulai membasahi pipinya. Dan aku terus berjalan meninggalkanya.
“ Zulham tunggu aku….” Ia berlari mengejarku.
Dimalam yang mulai basah karena siraman hujan, jalanan yang sebelumnya kering tergenang oleh air hujan. Terlihat Nabila mengejarku dibawah derasnya air hujan. Tak lama kemudian Nabila terjatuh, sambil meneteskan air matanya yang terus keluar.
Langkah ku terhenti melirik kearah Nabila. Tak lama Dika berlari membantu Nabila dan memeluknya untuk menenangkan Nabila, dan membawanya keterasa untuk berteduh. Dan aku meneruskan langkahku menembus derasnya air hujan yang mulai membasahiku. Selesai.
Madiun,15 Januari 2009 

2 komentar: