Selasa, 09 Juni 2009

Aku Bukan Pilihan Hatimu

Aku Bukan Pilihan Hatimu
Penulis : Fajar Hidayat

Sebuah kisah cinta pertama seorang remaja yang baru menginjak umur 17 tahun. Ialah Zulham, ia hanyalah seorang anak penjual buah di pasar, jika dilihat status sosialnya Zulham tidak mungkin bisa bersekolah di SMA nya sekarang, namun ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah sehingga Zulham dapat bersekolah di SMA favorit dan terbaik di kotanya. Pertememuanya dengan Doni,seorang anak pengusaha. Yang tak memandang status social berteman dengan siapa saja. Sehingga Zulham dan Doni menjalin persahabatan. Nabila seorang anak pengusaha, dan satu-satunya orang  penyumbang terbesar dimana ia bersekolah. Ia adalah gadis yang pertama membuka lembaran cinta Zulham.
***
Bel tanda istirahat baru saja berbunyi, aku masih duduk di bangku ini.

"Ham, kamu gak keluar ?" Doni, temanku menyapaku.

Aku menggeleng pelan.

"Kamu kenapa ?" tanya Doni.

"Enggak, gak kenapa – napa." ucapku pelan.

"Tapi kamu lapar kan ?"

Aku menarik nafas panjang, lapar, memang aku lapar saat ini, tapi bagaimana lagi, aku tak mempunyai uang untuk membeli apapun.

"Kali ini aku bayarin deh, yuk." Doni masih saja berdiri di sampingku.

"Makasih Don, aku di sini saja."

"Bener ? Ya udah, aku keluar dulu yah, maaf aku gak bisa nemenin kamu."

Aku menganguk.

Kini Doni telah lenyap dari pandanganku. Ia merupakan teman dekatku, ia selalu berbagi cerita denganku, aku senang padanya karena ia tak pernah memilih dengan siapa ia bergaul, walaupun ia orang berada, sedangkan aku, aku hanyalah seorang anak penjual buah di pasar, aku dapat sekolah di sini saja sudah merupakan suatu anugrah.

Aku mengambil Buku catatanku, aku mulai membacanya, mencoba mengisi jam istirahat ini dengan sesuatu yang berguna. Ini memang yang selalu aku lakukan jika jam istirahat tiba, dimana orang lain di sibukkan dengan makanan atau rumpiannya, tapi aku tak senang akan kegiatan itu. Aku lebih senang begini.

Waktu telah berjalan, istirahat akan segera berakhir. Kulihat para siswa masuk satu persatu ke dalam kelas.

"Yah... nih anak masih juga disini, kenapa sih kamu betah bener di bangku ini." Doni dengan senyum cerianya duduk di sampingku.

Aku menanggapinya dengan tersenyum kecil.

"Oh iya Ham, kamu dapat salam tuh." Ucap Doni.

"Salam, dari siapa ?" tanyaku.

"Nabila !"

"Nabila, Mana ?"

"Ya ampun, masa kamu gak tahu sih, dia kan gadis paling cantik di SMA ini."

"Udah ah aku gak mau becanda." Ucapku menanggapi ungkapan Doni.

"Eh aku gak becanda lagi. Nabila tuh langsung bilang ke aku, untuk nyalamin ke kamu."

"Please, jangan bicara itu ya."

"Loh kamu tuh gimana sih, jadi gimana nih, salamnya kamu terima gak."

Aku terdiam.

"Loh malah diem, diterima gak ?" Tanya Doni.

"Terserah kamu lah." Dengan perasaanku cuek.

"Kok gitu sih, eh tahu gak cowok - cowok tuh ngedambain banget tuk deket dengan Nabila, eh ini Nabila dah di depan mata, kamu malah cuek."

"Ya udah, aku terima deh."

"Nah gitu donk, Nabila pasti senang klo ngedengernya."

Aku kembali terdiam.
Nabila, kenapa dia selalu saja menitipkan salam kepada teman - temanku, aku gak habis pikir, kenapa mesti aku, padahal ia itu seorang yang cukup kaya, ke sekolah saja ia membawa mobil pribadi, sedangkan aku, jangankan mobil pribadi, untuk ongkos Bis kota saja kadang - kadang aku gak punya.
Malah aku sering berfikir, apakah Nabila berbuat seperti ini hanya untuk mempermainkanku ? atau mau menjadikan aku sabagai alat untuk menjauhkannya dari cowok - cowok playboy yang selalu mengejarnya itu.

* * *


Hari ini, seperti hari - hari biasanya, aku melangkah di halaman SMA ini diantara kabut yang menyelimuti pagi ini.

Aku memang sudah terbiasa untuk datang pagi sekali sebelum para siswa yang lain datang.

Kulihat pintu kelasku masih tertutup, aku meraih gagangnya dan membukanya. Kudapati suasana kelas yang hening. Suara sepatuku bergema di ruangan itu, aku langkahkan kakiku menuju mejaku, dan meletakan tas yang telah aku pakai sejak SMP itu di atas meja, segera ku duduk di bangkuku.

Kupandangi sekeliling, benar - benar sunyi, mataku kini tertuju ke arah Whiteboard. Di sana tertulis serangkaian kata "Zulham aku cinta kamu, Nabila." Setiap pagi selalu aku menemukan tulisan seperti ini.
Ku ambil langkah menuju ke Whiteboard dan segera menghapus tulisan itu.

Kenapa Nabila seakan selalu mengejar aku ? kini rasa bimbang menyelubungiku, apa yang harus aku perbuat, jujur saja Nabila memang gadis yang sempurna, atau setidaknya mendekati sempurna.  Apa yang didambakan oleh gadis remaja ada pada dirinya, Cantik, Kaya, Pintar, Orangtua yang sangat menyayanginya, apa lagi.? Sedangkan aku. Hanya lelaki biasa, tidak tampan, kondisi keluarga yang pas - pasan, aku hanya memiliki nilai lebih yaitu selalu menjadi juara kelas, itu saja.

Ini memang berawal ketika aku menjadi petugas kesehatan pada saat upacara bendera beberapa bulan yang lalu, saat itu Nabila memang terlihat kurang fit, tentu saja ketika upacara berlangsung Nabila pingsan, aku sebagai petugas jaga tentu saja sigap membantunya dan membawanya ke UKS.

Di sana aku bantu dia menyadarkan dari pingsannya, karena saat itu yang menjadi  'pasien' cuma Nabila, maka kita hanya berdua dalam ruangan itu. Dari situ terbentuk obrolan - obrolan kecil dan mulai memperkenalkan diri masing - masing.

Sejak saat itu Nabila mulai memperlihatkan tingkah lain, ia mulai sering menitipkan salam kepada teman - temanku, dia selalu mencari info segala sesuatu tentang diriku dari mereka, dan sudah seminggu ini aku selalu menemukan pesan untukku yang ia tulis di Whiteboard kelas.

Sebenarnya banyak yang iri aku mendapatkan perlakuan seperti ini dari Nabila, bagaimana tidak iri, Nabila itu selalu menjadi sasaran cowok - cowok terganteng yang ada di sekolah ini, mereka selalu memperebutkan hati Nabila, namun sayang hingga saat ini hatinya tak pernah dapat mereka taklukkan, Nabila hanya memperlakukannya dengan dingin.

"Pagi - pagi sudah ngelamun." Suara Doni mengusik lamunanku.

"Ah enggak." Aku mencoba mengelak.

"Enggak gimana ? aku tahu kok dari tadi tuh pandangan mata kamu kosong, eh lagi ngelamunin sapa sih, Nabila ya ?" sindir Doni.

"Ah gak, siapa lagi yang ngelamunin Nabila."

"Ehm jangan 'muna' kamu."

"Bener kok enggak." Aku masih saja enggan memberitahu yang sebenarnya kepada Doni.

"Ya udah, eh iya, di depan ada yang mau nemuin kamu tuh."

"Ketemu aku ? Siapa ?"

"Ada deh ?"

"Siapa ? emh... Nabila ya ?" Tanyaku pelan.

Doni mengangguk.

"Bilang aku lagi gak mau diganggu."

"Loh, kok kamu sadis gitu sih, gak boleh gitu ah sama cewek, cepet gih kamu temuin dia."

"Enggak ah."

"Ya kamu, eh kalo kamu di gituin ma cewek, gimana perasaanmu ? gak enak kan, nah cewek juga sama kayak gitu !"

Dengan malas aku berdiri dan mulai melangkah.

"Semoga berhasil ya." Support Doni.

"Kamu tuh ngomong apaan sih." Elakku.

Doni hanya tersenyum menanggapi ucapanku itu.

Aku berjalan keluar kelas.

Kutemukan sosok Nabila, duduk di bangku di depan kelasku.

"Hai." aku menyapanya.

Ia melempar senyum kepadaku.

Aku duduk di sampingnya.

"Kenapa akhir - akhir ini kamu seolah menghindar dariku ?" tanya Nabila.

Aku diam.

"Kamu marah ?" Tanya Nabila pelan.

Aku menggeleng.

"Lantas kenapa ?"

"Aku... aku sibuk." Aku menjawab asal.

Kami terdiam, seolah tak ada kata yang dapat kami rangkai pagi itu.

"Zulham, aku... "

Hatiku mulai berdebar, aku sudah bisa membaca apa yang akan diucapkan Nabila saat itu.

"Zulham aku mencintai kamu." Kata yang keluar dari ucapan Nabila.

Aku masih diam.

"Zulham...!" panggil Nabila.

"Ini yang aku takutkan.  Akhirnya aku mendengar kata-kata ini.” Suaraku pelan.

"Maksudmu ?" Tanya Nabila, penasaran.

"Selama ini aku takut kamu mengucap kata itu padaku." Pandanganku menatap Nabila.

"Memangnya kenapa ?" penasaran.

"Nabila, apa yang akan kamu dapatkan dariku, aku hanya anak seorang penjual buah, gak ada yang bisa kamu banggakan dariku."

"Aku tak peduli kondisi kamu bagaimana, tapi aku sungguh menyayangi kamu Zulham." Yakinnya.

"Aku takut." Ucapku.

"Takut kenapa, Ham ?" Tanya Nabila.

"Bagaimana pandangan orang jika aku menjadi pacar kamu." Ucapku datar.

"Ah peduli amat dengan mereka, yang menjalani kan kita."

Aku diam.

"Jadi...? " Tanya Nabila.

"Jadi apa ?" sahutku.

Nabila menarik nafas panjang. "Zulham, pernahkah kau mendapatkan cinta sebelumnya ?"

Aku menggeleng.

"Jadi selama ini kamu belum pernah pacaran ?" tanyanya halus.

Aku mengangguk.

"Memangnya kenapa ?" dengan halus.

"Aku takut." Ucapku datar.

"Takut ?" tanyanya.

"Aku selalu takut untuk menjalin cinta dengan orang." Suaraku datar.

"Kamu takut kecewa ?" tanyanya.

"Bukan, aku malah takut cewek itu yang kecewa terhadapku." Ungkapku.

"Kamu jangan kecil hati kayak gitu donk. Jadi bagaimana ?" desak Nabila.

"Bagaimana, apanya ?" sahutku.

"Aku menunggu jawaban darimu." Ucapnya.

Aku kembali terdiam.

"Kamu kenapa ?" Nabila kembali bertanya.

"Aku gak bisa jawab sekarang ya." Suaraku datar.

"Memangnya kenapa ?" penasaran.

"Aku masih perlu memikirkan ini." Dengan menatap Nabila.

"Ya udah, aku tetap tunggu jawaban darimu. Aku ke kelas dulu yah." Sambil berdiri melirik kepadaku.

Aku mengangguk. Sosoknya kian menjauh dariku dan menghilang. Aku mulai termenung, kini kebimbangan lainnya mulai muncul, aku gak tau bagaimana baiknya aku mengambil keputusan ini.

"Wah Ham, gimana nih, berhasil gak ?" Doni kini telah duduk di tempat Nabila tadi duduk.

"Don, aku bingung nih." Suaraku datar.

"Emangnya kenapa ?" Tanya Doni.

"Nabila... "

"Kenapa dengan Nabila, dia nembak kamu ya ?" sambil tersenyum.

Aku mengangguk.

"Wah bagus itu." Suportnya.

"Tapi aku bingung nih."

"Bingung kenapa lagi, Nabila tuh Cantik, Pintar, Kaya, kamu mikir apa lagi sih." Dengan halus menjelaskan.

Aku kembali terdiam.

"Udah deh kamu terima aja, cowok lain tuh susahnya minta ampun tuk jadian ma Nabila. Ini, dia udah nembak duluan kamu malah bingung."

"Bagaimana kata orang." Ucapku.

"Ya cuek aja lagi." Dengan suara santai.

"Tapi aku gak bisa kayak gitu." Suaraku datar.

"Alah maju aja lah, kalo ada apa - apa aku bisa bantuin kamu, tenang aja." Yakinya.

Bel tanda masuk berbunyi.

"Masuk yuk ?" ajaknya.

Aku mengangguk dan mengikuti Doni masuk ke dalam kelas.

* * *


Aku duduk di restoran ini, tepat di hadapanku Nabila tetap saja menatapku, aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini, aku tidak terbiasa. Restoran ini terlampau mewah bagiku, orang seperti diriku seharusnya tidak pantas berada di tempat ini, ini khusus bagi orang - orang mewah seperti Nabila, hanya saja aku tak bisa menolak ajakan Nabila untuk makan malam di tempat ini.
Ini merupakan kencan pertamaku dengan Nabila, ketika aku menyanggupi permintaannya untuk menjadi kekasihnya, beberapa pekan yang lalu. Nabila terlihat sangat senang mendengar jawabanku, ketika aku mengatakan kata 'iya' kepadanya.

Suasana restoran ini cukup hening, terdengar lantunan lagu lembut, menambah keromantisan suasana restoran ini. Nabila terlihat sangat cantik malam ini, dengan menggunakan gaun malam hitam dengan rambutnya yang lurus ia biarkan tergerai. Semua ini membuat aku tak tahu apa yang harus diperbuat.

"Ham, makasih ya." Ungkap Nabila lembut.

"Makasih apa ?" tanyaku.

"Kamu mau menerimaku." Suara nabila datar.

"Nabila, apakah kau kecewa terhadapku ?" tanyaku.

"Kenapa kau tanyakan itu ?"

"Aku merasa... aku tak pantas berada di sampingmu."

"Tak pantas karena apa ?"

"Aku bukan seorang pria mewah seperti dirimu, aku hanya..."

"Jadi karena itu kamu merasa malu berada di sampingku ?"

"Bukan malu! Tapi aku tak mempunyai apapun yang dapat kamu bangakan dari diriku."

Nabila tersenyum manis, "Ham, aku tak akan menuntut apapun kepadamu, kecuali satu permintaan, yaitu cintamu."

Aku kembali terdiam, entahlah, seolah semua kata ini hilang begitu saja ketika aku harus berhadapan dengan Nabila. Malam berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya, obrolan - obrolan ringan terjadi seiring bertambahnya waktu.


* * *


Enam bulan sudah hubunganku dengan Nabila berjalan, Nabila memang benar, dia dapat membuktikan apa yang ia ucap di awal hubungan kami. Rasa sayangku padanya telah tumbuh kini, dan kini aku tak sekaku dahulu mengadapi Nabila, setidaknya kini aku harus menghilangkan perbedaan yang tajam antara aku dengan dia.

Tatapan sinis dari para lelaki yang dahulu mengejar Nabila masih sering aku dapatkan, hanya aku tak mau mengambil pusing dengan semua itu. Toh ini semua kan atas permintaan Nabila.

Hari ini aku diajak Doni untuk mengantarnya ke mall, ia ingin membeli perlengkapan pesta ulang tahun yang akan diadakan lusa depan.
Dengan membawa kantong besar di tangan masing - masing, aku dan Doni menyempatkan untuk melepas lelah di sebuah mini cafe yang berada di dalam mall ini.

"Lusa kamu datang kan ?" Doni berkata sembari menuangkan creamer ke dalam coffee-nya.

"Ya pasti lah, masa enggak sih !"

"Nabila udah aku kasih tau, jadi kalian wajib datang berdua."

Aku tersenyum. Ku ambil cangkir berisi coklat panas yang berada di hadapanku dan ku teguk isinya. Kalau aku tak mempunyai sahabat seperti Doni, tak mungkin aku dapat berada di tempat ini, dia memang terlampau baik untukku, maka akupun tak akan segan membantu dalam setiap kesulitannya.

Kupandang wajah Doni, aku membaca raut wajahnya seolah melihat sesuatu yang tak dapat ia percayai.

“Don, kamu kenapa ?" dengan memandang kearah Doni.

Doni masih terpaku pada pandangannya. "Aku gak tahu apakah pantas aku katakana pada kamu."

"Kamu ngomong apa sih, Don."

"Kamu dan Nabila masih baik - baik aja kan ?" Tanya Doni, penasaran.

"Kamu aneh bener deh, kenapa emang kamu tanyakan itu, aku dengan Nabila gak kenapa - napa kok." Jawabku dengan senyum.

"Itu Nabila kan ?" Telunjuk Doni menunjuk ke sebuah arah.

Mataku segera mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Doni.

Di sana terdapat seorang wanita dan pria yang sedang asik bercanda mesra berdua di sebuah meja yang letaknya di sudut dari cafe ini. Yang membuat mataku terpaku adalah sang wanita, dia adalah Nabila, Nabila kekasihku.

"Don, kita pulang sekarang." Suaraku datar.

Doni tak berbicara.

"Don, jika kamu masih ingin di sini, aku pulang duluan." Aku mulai berdiri dan melangkah, tapi aku kembali mengalihkan pandangan ke sudut itu, memastikan apakah itu benar Nabila.

Ternyata benar, dia Nabila. Ku tatap wajah itu, tanpa sadar ia menatap kepadaku, pandangan kami bertemu. Ku pertajam tatapanku, dan segera membalikkan tubuh dan mulai melangkah keluar cafe.

"Ham, Zulham tunggu aku." Kudengar Doni mengejarku.

Baru kali ini aku benar - benar di sakiti oleh yang namanya wanita, kenapa ia menawarkan cintanya kepadaku jika ia tak benar - benar mampu untuk mencintaiku.


* * *


Malam itu pesta berlangsung cukup meriah, banyak tamu undangan yang datang dengan berbagai penampilan, seakan mereka berlomba memamerkan apa yang ia miliki.
Aku termenung duduk di sebuah sudut, sebenarnya aku malas datang ke pesta ini, tapi aku tak cukup tega untuk tidak menghadiri pesta ulang tahun sahabat dekatku ini.
Aku masih teringat kejadian kemarin lusa, sejak saat itu aku tak ingin lagi bertemu dengan orang yang bernama Nabila itu. Entahlah, apakah tindakanku tepat atau salah aku tak mau peduli, yang pasti sosoknya telah aku hilangkan di hati ini.

Aku memang sadar, aku ini terlalu cepat memvonis salah kepada orang, bisa saja kan lelaki itu bukan siapa - siapa Nabila, mungkin sepupunya atau siapa lah! tapi aku tak yakin ia itu sepupu atau temannya, aku melihat dengan mataku sendiri kalau tingkah Nabila saat itu sangat mesra kepada lelaki itu.
Tamu yang berdatangan semakin banyak, dan sosok Nabila belum juga aku dapati, "Syukurlah kalau Nabila tidak hadir !" ucapku dalam hati, memang itu yang aku inginkan.

"Ham, kamu jangan ngelamun aja donk, ngobrol kedepan dengan yang laen." Doni mengentuh bahuku.

"Biar aku di sini aja." Aku menjawab sembari tersenyum.

"Eh, kamu udah makan belum?" Tanya Doni.

Aku menggeleng pelan.

"Udah gih makan duluan !"

"Enggak ah, nanti aja." Elakku dengan senyum.

"Bener ?"

"Bener, gak enak ke yang laen." Dengan senyum.

"Ok deh kalo gitu, oh iya tadi Nabila nelpon, nanyain kamu."

"Trus, kamu bilang aku ada di sini ?" tanyaku pelan.

"Iya."

"Dia mau kesini ?" tanyaku.

"kayaknya!" jawab Doni.

"Don, aku pulang duluan ya ?" Aku mulai berdiri.

"Loh kok gitu, nanti dulu dong, pestanya aja belum berlangsung, kamu gak mau ketemu Nabila ya?" Doni memaksaku untuk kembali duduk.
 "Kamu jangan begitu donk, Ham. Saran ku, sebaiknya kamu ngomong baik - baik ma Nabila, bisa aja kan kamu salah sangka." Memegang bahuku.

"Don, aku telah merasa dikhianati oleh Nabila, aku telah terlampau sakit." Ungkap ku datar.

"Ham, Ham, baru aja begitu kamu telah memvonis yang macem - macem sama Nabila."

"Tapi, Don... " melirik Doni.

"Udah, pokoknya aku bakal marah besar kalo kamu pulang duluan." Potong Doni. 

"Kayak bukan laki - laki aja, hadapi aja dia, apa susahnya sih." Doni kembali memotong. "Aku ke sana dulu ya !"

Aku tak mampu lagi berbicara, Doni telah meninggalkanku sendiri di sudut ini.

Bangku - bangku yang tadi kosong kini terisi, aku tetap pada aktivitasku, yaitu Diam.
Aku memang sedang tidak mood untuk mengobrol, walaupun banyak yang menyapaku, tapi aku hanya menjawabnya dengan seperlunya.

Walaupun tubuhku ada di pesta ini, tapi pikiranku tidak. Ku biarkan dia melayang entah kemana. Aku tak dapat mengendalikannya.

"Zulham." Samar ku dengar suara Nabila.

Aku kembalikan pikiranku ke alam nyata, ku lihat Nabila telah berdiri di sampingku, dengan memamerkan senyum indahnya.

Aku berdiri dan mulai melangkah menjauh darinya.

"Zulham, kamu mau kemana?" tanyanya penasaran.

Aku tak menjawab, dan aku tetap pada langkahku. Aku tahu di belakang Nabila dengan susah payah mengejarku.

"Zulham, aku tahu kamu marah ke aku." Desaknya.

"Kalau memang iya, kamu mau apa ?" Akhirnya ku hentikan langkahku itu tepat di teras depan rumah Doni.

"Aku minta maaf." Suarnya datar.

"Hanya itu ?"sahutku.

"Jadi aku harus bagaimana ?" Ia mengambil tanganku. "Dia itu hanya teman Ham, enggak lebih."

Aku melepas genggaman tangannya dari tanganku. "Hanya teman ? Memangnya aku bisa percaya begitu saja terhadap ucapanmu itu ?"

"Jadi apa yang harus aku perbuat untuk meyakinkan kepadamu."sahut pasrah Nabila.

Aku terjebak oleh kata - katanya, walaupun aku tak begitu percaya akan ucapannya itu.

"Zulham, kamu percaya kan kepadaku?" tanyanya penuh harap.

Aku tak tahu harus menjawab apa, kupandangi wajah Nabila, wajah yang seolah tanpa dosa itu menatapku dengan penuh harap, hati ini memang selalu luluh pada tatapannya itu.
Kami saling membisu, suasana di teras depan ini cukup hening, hanya kami berdua yang berada di tempat ini.

"Nabila." Keheningan yang terjadi dipecahkan oleh suara seorang lelaki.

Aku membalikkan badan menuju ke arah datangnya suara.

Kini di hadapanku terlihat seorang lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya, hanya wajah itu sepertinya pernah aku lihat sebelumnya.

"Dika, kenapa kamu kesini?" Nabila sedikit membentak lelaki itu.

"Loh apakah salah jika aku ingin menjemput cewekku." Jawab lelaki itu tenang.

“ 'Cewek', apaan ini ?” Aku mengalihkan pandanganku ke Nabila, mukanya kini terlihat tegang.

"Kamu temannya Nabila ya ? Perkenalkan saya Dika." Lelaki itu mengajakku berjabat tangan.

"Kamu... siapanya Nabila." Ucapku sambil menanggapi uluran tangannya.

"Oh, saya cowoknya Nabila." Jawab lelaki itu dengan santai.

Kembali ku tatap Nabila, kini wajahnya ia tundukkan.

"Aku pulang." Aku berkata dengan nada datar.

"Ham, tunggu, aku bisa jelaskan ini... " Nabila mencoba menghentikan langkah yang baru saja aku lakukan.

"Tak ada yang harus kamu jelaskan lagi Nabila, semuanya sudah jelas, aku dan kamu memang berbeda, dan harus kamu ketahui, aku bukanlah sebuah pilihan untukmu. Jadi mulai dari sekarang mohon tingalkan aku." Ucapku datar.

Kulepaskan genggaman tangannya, aku mulai berjalan menembus kegelapan dinginya malam yang mendung.
Hujan pun mulai membasiahi bahuku. Terlihat Nabila memanggil-manggil aku, dengan tetesan air mata yang mulai membasahi pipinya. Dan aku terus berjalan meninggalkanya.
“ Zulham tunggu aku….” Ia berlari mengejarku.
Dimalam yang mulai basah karena siraman hujan, jalanan yang sebelumnya kering tergenang oleh air hujan. Terlihat Nabila mengejarku dibawah derasnya air hujan. Tak lama kemudian Nabila terjatuh, sambil meneteskan air matanya yang terus keluar.
Langkah ku terhenti melirik kearah Nabila. Tak lama Dika berlari membantu Nabila dan memeluknya untuk menenangkan Nabila, dan membawanya keterasa untuk berteduh. Dan aku meneruskan langkahku menembus derasnya air hujan yang mulai membasahiku. Selesai.
Madiun,15 Januari 2009 

Senin, 01 Juni 2009

The Writing is My Life

The Writing is My Life
Penulis : Fajar Hidayat
Menulis adalah mengekspresikan atau menyimpan dari semua yang bisa dirasakan oleh panca indra pada sebuah teks atau semua alat yang bisa menyimpan tulisan. Kebiasaan menulis sangat bagus untuk ditanamkan pada setiap orang, karena dengan menulis seseorang telah berusaha menyimpan tentang suatu hal dan berusaha juga menuangkan dari apa yang telah dia atau orang lain pikirkan.
Memang untuk membiasakan menulis membutuhkan kesabaran dan keuletan. Menulis bisa dijadikan hiburan, pekerjaan, kebutuhan, ibadah, dll. Dengan membiasakan menulis berarti telah menunjukkan suatu bentuk kreatifitas dalam kehidupan ini.
Manusia diciptakan untuk menjadi makhluk yang pandai, oleh karena itu manusia mesti selalu membiasakan untuk membaca. Membaca tidak hanya dari satu obyek yaitu buku, tetapi termasuk membaca situasi dan keadaan. Dari sumber membaca ini, maka seseorang akan menemukan banyak inspirasi untuk bisa ditulis.
Semua orang akan merasakan kesulitan untuk menulis, ketika mereka tidak terbiasa melakukan aktifitas ini. Namun, kesulitan ini akan bisa teratasi dengan membiasakan menulis. Untuk membiasakan menulis, seseorang bisa memulai dari tulisan-tulisan ringan, seperti catatan kecil tentang kegiatan sehari-hari, menulis pengalaman pribadi, menulis cerpen. Jadikanlah menulis bagian dari kehidupan kita ”The writing is my life”.
Orang akan lebih dikenang setelah kematiannya, ketika ia memiliki peninggalan sebuah karya. Intinya dengan menulis kita akan lebih banyak berfikir dan selain bermanfaat untuk diri sendiri juga akan bermanfaat untuk orang lain.
Dalam sebuah pepatah bahasa arab disebutkan” al ‘ilmu shoidun walkitabatu qoiduhu, qoyyid shuyudaka bil hibalil watsiqoh ” Artinya ilmu itu (bagaikan) sebuah gembala, dan tulisan adalah talinya, maka ikatlah gembalaan kamu dengan tali yang kuat/kencang. Dari pepatah yang penuh hikmah ini, kita semua akan lebih sadar tentang kekurangan manusia dengan sifat pelupanya, apalagi ketika sudah memasuki usia tua, sehingga untuk meminimalisir lupa dalam banyak hal, maka kita semua dianjurkan untuk rajin menulis.
Dari tulisan singkat ini, maka semakin jelas tentang urgensitas menulis bagi manusia pada umumnya. Semoga kita semua dapat terus membiasakan menulis dalam upaya memberikan kontribusi untuk pribadi dan sosial.


Kecoa

Kecoa
Penulis : Fajar Hidayat
“Nauval, sudah berapa kali sih Mama bilang, kamarnya dibersihin, diberesin! Jorok banget sih. Kamar kok kayak kandang ayam gini. Entar ada kecoanya baru tahu rasa!“ dengan rasa jengkel mama menasehati sama Nauvel.

Sudah hampir dua jam ini Mama ngomel sambil ngeberesin kamar Nauval. Kamar itu sepertinya nyaris tidak layak disebut kamar. Buku-buku berserakan, bahkan sampai ada yang di kolong tempat tidur. Seprei sudah nggak menutupi kasur lagi. Di lantai kamar ada saja sisa-sisa hapusan ditemukan. Lemari baju pun berantakan. 

Disana-sini banyak layangan dan mobil-mobilan yang nggak disimpan pada tempatnya. Sampah jajanan juga menumpuk di belakang pintu. Pokoknya asli tidak enak dilihat! Padahal sudah nyaris setiap hari Mama ngeberesin kamar Nauval, tapi selalu saja kerapihannya tidak bias bertahan lama.

“Huh, kecoa saja diributin,” selalu begitu jawaban Nauval kalau Mama mengingatkan. Dan jawabannya itu tentu saja membuat Mama semakin ngomel besar.

Malam harinya setelah mengerjakan PR Matematika, Nauval tertidur di lantai kamarnya yang mulai berantakan lagi. Mungkin karena kelelahan. Kelelahan menghadapi PR Matematikanya dan kelelahan menghadapi omelan Mama yang membosankan.
***
“Assalamu’alaikum,“ seru Nauval sepulang dari sekolah siang itu. Tidak ada jawaban.

Mama kemana ya, biasanya sebelum Nauval pulang sekolah Mama sudah pulang lebih dulu dari kantor. Ah, mungkin Mama dapat tugas ngeliput dadakan kali ya. Mama kan reporter, batin Nauval. Untung dia membawa kunci duplikat rumah, sehingga dia bisa masuk.

“Lapar, makan ah!” Tujuan pertama Nauval setelah masuk rumah adalah meja makan. Padahal dia belum berganti pakaian. Mama juga sering kali mengomeli kebiasaan Nauval yang satu ini. Tapi dasar Nauval bandel semakin sering Mama mengomel, semakin sering pula dia melakukannya.

Setelah selesai makan Nauval menuju pintu kulkas dan meminum jus alpukat yang ada. Lalu dia mencomot kue kering di lemari makan Mama hingga ludes. Setelah merasa kenyang baru Nauval menuju kamarnya. 

Dibiarkannya saja piring dan gelas bekas makannya tadi berserakan di dapur.

Tapi saat baru saja membuka pintu kamarnya Nauval terkaget-kaget. Di dalam kamarnya ada sesosok monster besar seperti serangga dengan antena panjang dan bau yang tidak enak. Menjijikkan. Hah, apa itu? Nauval menjerit ketakutan, namun tetap tidak bergeming di tempatnya.

“Hei, kamu teman baikku. Aku senang berjumpa denganmu. Mumpung Mama dan Papa kamu tidak ada, ayo kita bersenang-senang. Hahaha,” kata monster itu kepada Nauval dengan suara menggelegar.

“Ss..si..siapa..siapa kamu?!” Nauval memberanikan dirinya untuk bertanya pada monster itu.

“Hahaha, kenapa kamu takut seperti itu, Sobat? Bukankah aku teman baikmu? Sahabat karibmu? Hahaha, tapi tidak apa-apa. Mungkin kamu lupa padaku karena wujudku sekarang lebih besar dari yang biasa kamu lihat. Aku adalah kecoa yang tinggal di kamarmu. Sekarang tubuhku membesar karena segala kebutuhan hidupku terpenuhi di sini,” jawab monster yang ternyata kecoa raksasa itu.

“Ke..ke..kenapa kamu ada di sini?” Nauval bertanya lagi.

“Hahaha…hahaha…hahaha…” Sang monster justru tertawa lebih keras, membuat Nauval makin ketakutan.

“Kamu benar-benar lucu teman. Kamu bertanya kenapa aku ada di kamarmu? Hah, bukankah kamu yang mengundangku ke sini. Apa kamu lupa sobat? Hahaha.” sambil ketawa terbahak.

“A…a…aku…bukan sahabatmu. Aku tidak pernah memintamu ke sini.” Nauvel ketakutan.

“Apa? Kamu tidak mengenalku? Bukankah kamu yang membiarkan kamarmu selalu dalam keadaan tidak rapi, sehingga aku bisa betah tinggal di sini. Kamu yang membiarkan remah-remah makanan berserakan dimana-mana, sehingga aku dapat hidup terjamin disini. Hah, bukankah jelas itu membuktikan kalau kamu adalah sahabatku!” Sang monster mulai tersinggung dengan ucapan Nauval yang tidak mau mengakuinya sebagai sahabat.

“Aku tidak pernah kenal kamu. Pergi kamu dari kamar dan rumahku! Pergi!” teriak Nauval setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya.

“Apa kamu bilang? Kamu memperlakukanku seolah-olah aku tamu yang tak diundang, hah?!” Tiba-tiba sang monster kecoa menjadi sangat marah. Dia tidak terima dan sangat tersinggung karena Nauval tidak mengakui sang kecoa sebagai teman. Padahal Nauval telah mengundang kecoa itu datang ke tempatnya.

Perlahan tapi pasti sang monster mulai merengsek maju ke depan, untuk mendekati Nauval yang masih berada di depan pintu kamarnya. Dia hendak menyerang Nauval dengan antena panjangnya dan wajahnya yang menyeramkan. Nauval kembali ketakutan. Saking takutnya dia tidak sanggup untuk bergerak lari. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya.

“Ti..tidak. Tidak! Aku tidak mau berteman denganmu. Tidak. Tidaaak!” Nauval menjerit sekeras-kerasnya sambil menutup mata.
 

Dan tiba-tiba datanglah Mama.
***
“Nauval.. Nauval.. bangun. Bangun Nauval. Kamu kenapa teriak-teriak kayak gitu? Tidur di lantai lagi. Hei, bangun Sayang.. bangun!“ Mama berusaha membangunkan Nauval. Di sampingnya ada Papa. Nauval pun terbangun.

Melihat wajah Mama dan Papa di dalam kamarnya, Nauval tersadar bahwa yang dialaminya tadi hanya mimpi. 
Mimpi buruk yang benar-benar seperti nyata. Bahkan ketakutan yang di rasakannya tadi masih terasa. Tiba-tiba Nauval menangis dan bangkit memeluk Mama.

“Mama, maafin Nauval Ma. Nauval nggak akan ngeberantakin kamar lagi. Nauval janji mau rajin ngeberesin kamar. Nauval nggak mau jadi teman kecoa dan binatang menjijikan yang lain, Ma,“ janji Nauval pada Mama.
Walaupun Mama dan Papa bingung, tapi tentu saja mereka senang mendengar janji Nauval itu. Terutama Mama. Berarti Mama nggak perlu ngomel-ngomel lagi. Mama berharap semoga saja Nauval mematuhi janjinya sendiri. Di tempat lain kecoa sadar bahwa keberadaannya di rumah itu tidak akan lama lagi.karena Nauvel menepati janjinya untuk rajin membersihkan kamarnya.
http://fjsebuahcoretan.blogspot.com
Madiun,10 Maret 2009

The Best Friends and Soulmate

The Best Friends and Soulmate
Penulis : Fajar Hidayat
Suasana SMA Bhakti pagi itu sangatlah ramai. Tampak murid-murid duduk bergerombol di sudut-sudut sekolah tersebut. Adam dan Lucky perlahan mulai memasuki gerbang sekolah, mereka nampak santai dan menikmati suasana pagi itu. Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari kejauhan



”Adam, Lucky tunggu!!”.



”Suara cempereng siapa tuh?” Tanya Adam.

”Alah kamu tuh belagak nggak tahu, itu kan suara Rieta pacarmu?” Jawab Lucky.

”Pacar??, sejak kapan aku menjadi pacar dia Luck?

Stupid barangkali kalau aku pilih dia.” Elak Adam.

Perlahan sosok orang yang dibicarakan datang dengan dandanan heboh.

”Good morning Adam and Lucky, How are you today ?”

“Eh, Riet jangan sok Inggris deh kamu, tuh kan gak fasih-fasih amat bicara bahasa Inggris?” Kata Lucky.

”Biarin aku kan juga kepingin jadi kayak bintang film Hollywood, kayak Julia Roberts, Drew Barymore.” Jawabnya Rieta.

Saat mereka bertiga berjalan menyusuri koridor kelas mereka bertemu Irene.

”Hai, Irene pa kabar?” Tanya Rieta sambil bercikipa-cikipi dengan Irene.

”Baik!, Eh, Riet boleh nggak nanti aku main ke rumahmu? Udah lama nih aku kangen main ke rumahmu, pengin nyicipin makanan buatan ibu kamu kayak dulu, waktu aku masih sering main.” Pinta Irene.

”Boleh-boleh aja asal ada tarifnya ya non untuk sekali cicip.” Kata Rieta dengan senyum penuh arti.

”Ya aku paham, aku harus pinjamin buku terbaru ku, ma kamu kan?

Eh, udah dulu ya aku harus kembali ke kelas ada tugas .” Pamit Irene.

“Sampai jumpa!.” Dengan perlahan Irene berjalan berlawanan arah dengan mereka.

Saat melewati Adam, Irene sempat melemparkan senyum manisnya. Adam pun membalas senyuman itu.

”Eh Dam, kamu senyam-senyum sama siapa sih kayak orang gila aja?” Selidik Lucky.

”Ah gak ada apa-apa kok.”Jawabnya sambil membuang muka karena malu

Teetttttttt!!. Bel masuk berbunyi.

Rieta, Adam, dan Lucky bergegas cepat masuk ke dalam kelas. Mereka tidak mau terlambat, karena jam pertama di kelas mereka adalah Pak Dedi guru killer yang ngajar fisika, yang so pasti bakal ceramah abis di depan mereka kalau terlambat. Tentang kedisiplinan lah, atau lebih parahnya tidak diperbolehkan masuk ke dalam kelas.

Di dalam kelas, pak Dedi nerangin rumus fisika yang bikin puyeng, tapi Adam malah senyum-senyum sendiri. Dibenaknya cuma ada bayang Irene.

’’She is the perfect girl’’ Gumam Adan dalam hati .

”Dam akhir –akhir ini aku lihat, kamu deket banget ma si Irene jangan-jangan kamu dah jadian ya?’’Tanya Lucky saat mereka nongkrong di kantin sekolah.

“Nggak, belum.” Sahut Adam kalem

‘’Wah, aku support deh kamu jadian, kalau dah jadian jangan lupa ya kasih PJ ma aku ?” sindir Lucky.

“PJ, apaan tuh” Sahut Adam.

“PJ tuh Pajak Jadian” Jelas Lucky.

“Oooh, gitu?? gampang bro itu urusan nanti.” Jawab Adam sambil matanya jelalatan mencari sosok Irene. 

Karena, akhir-akhir ini, ia telah lebih jauh mengenal sifat dan perilaku Irene.

Serombongan cewek dari kelas sosial duduk membelakangi Adam dan Lucky. Sekilas, Adam menangkap ada suara Irene, ia pun menolehkan kepalanya.

Yap, betul itu Irene makin cantik aja sih dia.’’ Gumam Adam..Irene yang sadar diamati, wajahnya pun bersemu merah.
***
Setelah beberapa minggu, usaha PDKT Adam berhasil. Ia pun memberitahu Lucky dan Rieta.

“Ky, Riet aku traktir kamu sepuasnya hari ini deh di kantin sekolah, usaha PDKT ku ternyata berhasil.” Curahan perasaan bahagia Adam.

“Huwee, selamat ya bro,’’ Sahut Lucky sambil merangkul sobatnya.

”Selamat ya.’’ Sahut Rieta seperti hampir menangis.

”Riet, kamu gak papa kan?’’ Tanya Lucky.

”Nggak apa-apa kok, aku bahagia karena salah satu dari kita udah engga jomblo.” Jawab Rieta.
***
Akhir-akhir ini, setelah Adam mengumumkan bahwa ia sudah punya pacar, Lucky mulai mengamati ada yang ganjil pada prilaku Rieta. Ia menjadi pemurung dan selalu menjauh dari Adam dan dirinya. Lucky pun mulai mencari tahu, apa yang terjadi pada Rieta. Ia pun sembunyi-sembunyi datang ke rumah Rieta mencoba mencari tahu melalui adik perempuannya Kalin.’

’Aku, gak tahu mengapa sikap kak Rieta akhir-akhir ini berubah, kak Lucky, lebih baik kakak tanya langsung ma orangnya.’’ Jawab Kalin saat Lucky mencoba menayainya mengenai perilaku kakaknya.

Sore itu Lucky menunggu di bangku taman di depan kompleks perumahan, hari ini ia janjian bertemu Rieta. Ia melihat dari kejauhan Rieta melambaikan tangan pada dirinya. Ia pun mendekat ke arah Rieta. Sekilas ia menangkap mata sembab Rieta.

’’Riet, kamu kenapa sih akhir-akhir ini menjauh dari aku dan Adam ? Memangnya kami buat salah sama kamu ya?” Tanya Lucky

”Jujur, ma aku . Kita kan sudah temenan lama.” Rieta pun menelungkupkan kepalanya ke bahu Lucky.

Lucky merasa sesuatu yang hangat mengalir membasahi bahunya.

’’Riet, cerita deh, biar aku bisa bantu selesain masalah kamu.” Pinta Lucky.

“Aku, gak bisa lihat Adam sama Irene jadian Luck, karena aku dari dulu suka ma Adam.” Sahut Rieta lirih.

“Riet, aku gak salah denger kan?” Tanya Lucky memastikan. Rieta mengeleng,

“Mengapa kamu gak jujur tentang perasaanmu sama dia sejak dulu?” Tanya Lucky.

”Aku engga sanggup Ky merusak persahabatan kita.” Jawab Rieta terbata-bata.

”Ok, aku udah tahu semuanya. Sekarang kamu harus bersikap wajar ma Adam mulai besok. Bisa nggak?’” Tanya Lucky

”Aku terus terang pingin kita kayak dulu”.terus Lucky.

”Aku gak bisa, terlalu sakit Ky.”Elak Rieta

”Kamu engga ngerti perasaanku banget sih.”Teriak Rieta. Ia pun, segera berlari meninggalkan Lucky yang hanya bisa menatap kecewa kepergiannya.
***
Esoknya di sekolah Lucky menceritakan apa yang terjadi pada Adam. Adam pun kaget. Bersama mereka mengunjungi rumah Rieta. Karena, beberapa hari ini Rieta tidak masuk sekolah. Di rumah Rieta, mereka disambut ibu Rieta

“Eh, Adam sama Lucky cari Rieta ya? Mari masuk.” Sambutnya.

”Tante panggilin Rieta dulu ya.’”

”Terimakasih Tan” jawab Adam dan Lucky serempak.

“Ngapain kalian ke sini?” Tanya Rieta saat melihat kedatangan Adam dan Lucky

”Aku dah tahu semuanya Riet. Kamu gak usah malu ma aku” Kata Adam

“Lucky, ngapain kamu menceritakan semuanya ke Adam?” Tanya Rieta kepada Lucky.

“Kamu memang lelaki gak bisa tanggung jawab.” Teriak Rieta pada Lucky.

“Sori Riet, aku terpaksa bilang ini demi kebaikan kita semua” Bela Lucky.

“Kamu memang ya……” Rieta pun berlari meninggalkan Adam dan Lucky.

”Riet, tunggu kita mau coba jelasin ma kamu” Kata Lucky sambil mengejar Rieta.

“Percuma..!!” Teriak Rieta.

Tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang, mobil itu hendak menabrak Rieta.

“Awas Riet..!!” Teriak Lucky sambil ia berlari hendak menyelamatkan Rieta.

Benturan pun terjadi, Rieta terjatuh di trotoar. Rieta pun tersadar dan mendapati tubuh Lucky bersimbah darah, Rieta mendekap tubuh kaku Lucky.

“Luckyyyyyyyyyy!!” Teriak Rieta. Tergopoh-gopoh Adam datang, Ia pun kaget dan segera mencari pertolongan.
***
Beberapa minggu kemudian, Adam, Rieta, dan Irene berdiri di sebuah gundukan makam yang masih basah. Pada nisan terukir nama Lucky bin Soedarwoko. Di samping makam itu, Ibu Lucky beserta kakak perempuan Lucky, Marisa duduk bersimpuh menangis sedih. Seolah mereka tak percaya Lucky telah tiada. Perasaan syok dirasakan Rieta, betapa ia terpukul atas kematian Lucky. Marisa yang melihat kehadiran Rieta segera menghampirinya

“Riet, sebelum Lucky meninggal ia sempat menulis surat untuk kamu, ini suratnya” Kata Marisa sambil menyerahkan surat Lucky kepada Rieta.

Setelah dari pemakaman Rieta pun membaca surat terakhir dari Lucky.

To Rieta
Hai Riet, mungkin saat kamu baca surat dari ku. Aku udah ga ada di samping mu. Sebenarnya aku dah lama sakit tapi aku berusaha nutupin itu dari kalian. Dokter memvonisku kena Leukimia, dan gak akan bertahan lama. Saat di Rumah Sakit, dokter pun angkat tangan atas kondisiku yang kian memburuk. Ia menyatakan kecil harapan ku buat sembuh. Tapi aku tetap optimis, untuk sembuh, karena aku punya harapan untuk menyatakan, bahwa aku suka ma kamu sejak dari dulu. Walaupun, pada akhirnya aku harus pergi tinggalin kamu nantinya. Aku gak nyesel, karena sudah menyatakan hal ini ama kamu.
Terimakasih udah jadi pelangi yang mewarnai hidupku yang singkat ini. Aku harap, kamu mau tetap sobatan dengan Adam.
Salam
Lucky

Rieta pun tersedu membaca surat itu. Ia pun berjalan ke balkon rumahnya menatap ke langit senja
“Luck, moga kamu bahagia di sana. Terimakasih udah jadi sahabat terbaikku.” Ungkap Rieta.
The end.


Kekuatan Pikiran Bawah Sadar

“Pemborosan yang paling besar adalah di tanah pekuburan, karena mati
sebelum dapat mengoptimalkan seluruh potensi.”
– Andrew Ho –
Kekuatan Pikiran Bawah Sadar
Penulis : Fajar Hidayat
Manusia memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan mahakarya. Kekuatan terbesar dalam diri manusia itu terdapat pada pikiran. Tetapi kita jarang membuktikan kekuatan pikiran tersebut, sebab kita sering terjebak dalam zona nyaman atau kebiasaan tertentu. Sehingga selamanya tidak dapat mencari kemungkinan yang lebih baik atau perubahan nasib yang berarti.
Oleh karena itu milikilah target yang lebih tinggi untuk merangsang kekuatan dalam pikiran tersebut. Sebab target atau sasaran baru yang dipikirkan itu akan menggerakkan diri kita untuk melaksanakan tindakan. Apalagi jika diyakini target tersebut bakal tercapai, maka diri kita akan lebih siap menghadapi tantangan yang ada.

Setelah tindakan-tindakan baru yang lebih konstruktif dikerjakan hingga berulang-ulang, maka tanpa disadari kita sudah banyak melakukan hal-hal penting hinga kita tiba di zona baru, dimana kita berhasil mencapai target yang didambakan. Itulah mengapa dikatakan bahwa manusia mempunyai potensi yang sangat besar dalam pikiran bawah sadar. Kekuatan pikiran bawah sadar itu dapat dibangkitkan melalui 2 cara, yaitu: Autosuggestion dan Visualization.

Autosuggestion
Keinginan-keinginan kita merupakan informasi penting untuk pikiran bawah sadar. Sebab keinginan yang terekam kuat dalam pikiran bawah sadar sangat besar dapat menjadi daya dorong yang akan menggerakkan diri kita untuk berbuat sesuatu yang luar biasa. Keinginan yang sangat besar dan terekam dalam pikiran bawah sadar itulah yang dinamakan autosuggestion.
Autosuggestion seharusnya dilakukan dengan penuh rasa percaya, melibatkan emosi dalam diri, dilakukan penuh konsentrasi terhadap obyek yang positif, dan berulang-ulang. Selanjutnya, pikiran bawah sadar inilah yang akan mendekte gerak-gerik tubuh kita. Kekuatan yang ditimbulkan oleh pikiran bawah sadar itu sangat dahsyat entah digunakan untuk melakukan perbuatan buruk atau baik. Kadangkala niat untuk melakukan sesuatu secara otomatis muncul dari pikiran bawah sadar.
Autosuggestion akan mengetuk kesadaran (heartknock). Karena dilakukan berulang-ulang dan rutin, suatu ketika kata-kata tersebut akan menembus pikiran bawah sadar. Lalu pikiran bawah sadar itupun memompa semangat. Energi itu dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan impian hidup kita.
Mungkin kegiatan autosuggestion ini akan dianggap aneh oleh orang lain. Tetapi itulah salah satu cara untuk mengubah diri dari dalam. Biasakan mendengar pola pikir positif dan melakukan kebiasaan - kebiasaan yang konstruktif. Jadi jangan ragu untuk melakukan budaya- budaya yang potensial, menumbuhkan optimisme dan kreatifitas.
Ada 6 petunjuk dalam melakukan Autosuggestion, yaitu;
- Positive : pada saat melakukan autosuggestion, pikirkan hal-hal yang positif saja.

- Powerful : lakukan dengan penuh keyakinan sebab dapat memberikan kekuatan untuk berbuat sesuatu yang luar biasa.
- Precise : keinginan yang hendak dicapai harus sudah dapat dideskripsikan, karena pikiran bawah sadar hanya bisa menyusun berdasarkan kategori.
- Present Tense : dalam bentuk keinginan saat ini, bukan keinginan di masa lalu atau akan datang.
- Personal : lakukan perubahan positif terhadap diri sendiri terlebih dahulu.
Visualization
Bila kita menginginkan sesuatu maka pikiran bawah sadar akan menggambarkan apa yang didambakan itu. Dengan cara memvisualisasikan impian terlebih dahulu, terciptalah banyak sekali karya-karya spektakuler di dunia ini. Marcus Aurelius Antonius, seorang kaisar Romawi jaman dahulu mengatakan, “A man’s life is what his thought make of it - Kehidupan manusia ialah bagaimana mereka memikirkannya.”
Sesuatu yang selalu divisualisasikan manusia akan mudah terekam dalam pikiran bawah sadar. Lalu muncul kekuatan pikiran tersebut, yang berperan sebagai penghubung antara jiwa dengan tubuh. Sehingga tubuhpun bereaksi dengan mengerahkan seluruh potensi yang sebelumnya tidak pernah digunakan, dalam bentuk kreatifitas atau tindakan. Memvisualisasikan impian memungkinkan seluruh impian tercapai oleh pikiran bawah sadar.
Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan potensi yang sama besar kepada manusia. Tidak ada ruginya membayangkan betapa berpotensinya diri kita untuk mencapai impian-impian. Berikut ini beberapa langkah dalam memvisualisasikan impian, yaitu:
1. Mendefinisikan impian
Mendefinisikan impian artinya memberikan batasan atau standar akan impian yang hendak dicapai. Kemudian, gambarkanlah semua impian seolah-olah kamu sudah sepatutnya meraih impian tersebut. Meskipun tindakan ini terkesan sederhana, tetapi dari gambaran impian itulah kita akan mencoba berbuat sesuatu untuk melakukan perubahan dan akhirnya dapat meraih cita-cita.

2. Menentukan target waktu
Dambakan impian itu terwujud sesuai target yang telah ditentukan, sebab impian tanpa target waktu hanya akan menjadi mimpi sesaat. Impian dengan target waktu akan menggerakkan kesadaran untuk tidak segan-segan melakukan perubahan. Maka mulailah dari sekarang, “Be the best, do the best, and then let God take care the rest – Jadilah yang terbaik, lakukan yang terbaik, biarlah Tuhan yang menentukan“. Potensi yang kita miliki kelihatannya sangat sayang jika tidak dioptimalkan.

3. Melakukan berulang-ulang
Melakukan ulangan artinya mengkondisikan diri kita untuk lebih sering ingat akan impian kita. Jika sering ingat, maka perlahan-lahan impian itu akan tertanam di alam pikiran bawah sadar. Bila pesan sudah diterima oleh SCM (sub-conscience mind), maka dia akan menggerakkan diri kita untuk menciptakan keputusan atau menjadikan kita lebih kreatif.
Jika impian lebih sering diimajinasikan ternyata dapat melipatgandakan kekuatan dari pikiran bawah sadar. Imajinasi yang diulang-ulang ini akan secara tidak langsung merangsang ilusi akan kenyataan yang luar biasa tentang potensi kita sebagai umat manusia. Sehingga diri kita akan berusaha keras mencapai impian yang divisualisasikan. Begitulah seterusnya kekuatan pikiran bawah sadar bekerja dan dibangkitkan, hingga perubahan besar terjadi dalam diri kita pada suatu waktu.
Ref : http://fjsebuahcoretan.blogspot.com